Unang Batin

Unang Batin adalah seorang pendekar sakti mandraguna yang memiliki sifat rendah hati dari daerah Desa Putih Doh, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Suatu saat, ketika ia memenangkan sebuah pertandingan silat antar kampung, ada beberapa orang dari daerah lain yang dendam kepadanya dan berniat untuk mencelakainya. Bagaimana kisah selanjutnya? Mampukah Unang Batin selamat dari ancaman tersebut? Berikut kisahnya dalam cerita Unang Batin.

* * *

Alkisah, di daerah Putih Doh, Lampung, hiduplah sebuah keluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak laki-laki mereka yang bernama Unang Batin, yang berarti jiwa atau hati yang selalu bercahaya. Nama itu merupakan pemberian dari Penyeimbang Adat yang terkenal cakap dan setia kepada daerahnya. Ayah Unang Batin adalah seorang yang sangat dalam ilmu agamanya dan mahir bermain silat. Sang Ayah dan Penyeimbang Adat berharap kelak Unang Batin menjadi seorang hulubalang yang cakap dan senantiasa siap bertempur untuk membela kebenaran. Oleh karena itu, sejak dini sang Ayah menempa anak semata wayangnya itu dengan pengetahuan agama dan ilmu bela diri.

Unang Batin adalah anak yang cerdas. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ayahnya dapat dicerna dengan mudah dan cepat. Tak heran, jika pada usia remaja ia sudah banyak menguasai ilmu agama dan ilmu bela diri yang diberikan sang ayah kepadanya. Meski demikian, sang ayah merasa belum puas dengan ilmu yang dimiliki Unang Batin sebagai bekal untuk menjadi seorang hulubalang yang cakap.

“Anakku, semua ilmu yang Ayah miliki telah kamu kuasai. Paling tidak kamu sudah bisa membela diri dari ancaman bahaya yang datang tiba-tiba. Tapi, Ayah berharap kamu harus lebih memperdalam ilmumu dan mempelajari ilmu-ilmu lain yang belum kamu miliki,” ujar ayah Unang Batin.

“Apa maksud, Ayah?” tanya Unang Batin bingung.

“Ayah menginginkan kamu pergi merantau untuk memperdalam ilmumu,” ungkap ayahnya.

“Baik, jika itu yang Ayah kehendaki. Unang pun akan merasa senang dapat menimba ilmu lebih banyak lagi,” kata Unang Batin dengan penuh semangat.

“Tapi ingat, Anakku, selama di perantauan kamu harus selalu menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih mudah dari kamu. Begitu pula jika kamu sudah berilmu tinggi, janganlah kamu gunakan untuk kejahatan, tapi gunakanlah untuk kebaikan!” pesan ayahnya.

“Baik, Ayah! Unang akan selalu mengingat semua petuah Ayah,” kata Unang Batin.

 
Keesokan harinya, Unang Batin pun pergi meninggalkan kampung halamannya dengan bekal secukupnya. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan sampailah ia di daerah Palembang. Setelah beberapa lama tinggal dan belajar di daerah itu, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah Bengkulu, Pariaman, Aceh hingga ke Malaka (Malaysia). Berbagai ilmu pengetahuan pun ia kuasai, seperti ilmu silat, ilmu kebal, ilmu meringankan tubuh, ilmu dayang (pukulan jarak jauh), ilmu falak, ilmu penangkal racun dan penangkal teluh (ilmu hitam), dan berbagai ilmu yang lainnya. Kini, ia benar-benar telah menjadi ksatria yang sakti mandraguna. Namun, sesuai dengan pesan sang ayah, ia tidak pernah menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya itu.

Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di perantauan, Unang Batin tiba-tiba merasa rindu ingin bertemu dengan keluarganya. Akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Setibanya di Kampung, ia disambut gembira oleh keluarga dan seluruh warga kampung. Betapa senangnya hati kedua orang tuanya melihat keberhasilan Unang Batin.

Suatu hari, Penyeimbang Putih Doh Cukuhbalah mengundang seluruh warganya, termasuk Unang Batin, untuk mengadakan musyawarah di rumahnya.

“Dengarlah, wahai seluruh wargaku! Sebentar lagi lebaran akan tiba. Seperti biasanya, setiap hari kedua setelah lebaran kampung kita mengadakan pertandingan silat antarkampung. Untuk itu, kita harus menunjuk ujang baru yang akan mewakili kampung kita dalam pertandingan itu. Menurut kalian, siapa di antara kalian yang pantas untuk diangkat menjadi ujang yang baru?” tanya Penyeimbang.

Mendengar pertanyaan itu, seluruh peserta rapat menoleh ke arah Unang Batin. Pemuda yang baru saja datang dari perantauan itu pun tertunduk malu karena semua pandangan tertuju kepadanya.

“Maaf, Tuan! Kalau menurut saya, di antara kita hanya Unang Batinlah yang pantas menjadi ujang yang baru. Tentu kita semua tahu kalau dia baru saja pulang dari perantauan menuntut berbagai ilmu silat dan pengetahuan,” sahut seorang warga.

“Bagaimana, apakah kalian semua setuju dengan usulan itu?” tanya Penyeimbang.

“Setuju!” jawab seluruh peserta rapat dengan serentak.

Akhirnya, Unang Batin pun diangkat menjadi ujang yang baru dengan gelar Mas Motokh. Sejak itu, Unang Batin menjadi terkenal dan menjadi kebanggaan seluruh warga.

Hari yang telah ditunggu-tunggu pun tiba. Dua hari setelah lebaran, para pendekar dari berbagai daerah telah berkumpul di halaman rumah Kepala Adat (Lamban Balak). Para penonton pun mulai memadati pinggir arena pertandingan. Mereka sudah tidak sabar lagi ingin menyaksikan pertandingan yang seru itu. Demikian pula para peserta, mereka sudah tidak sabar ingin menunjukkan kehebatan masing-masing. Beberapa peserta tampak sedang sibuk berlatih sebelum pertandingan dimulai. Sementara itu, Unang Batin yang kini bergelar Mas Motokh tampak berdiri dengan tenang di sudut arena pertandingan sambil memperhatikan orang-orang yang sedang berlatih.

Tak berapa lama kemudian, gong pun berbunyi sebagai tanda pertandingan dimulai. Pertandingan itu berlangsung satu lawan satu. Siapa yang menang akan ditantang oleh peserta lainnya, dan begitu seterusnya. Setelah beberapa lama pertandingan itu berlangsung, para peserta pun gugur satu demi satu. Kini, peserta hanya tersisa Unang Batin dan seorang lawan yang bernama Marga Pertiwi. Marga Pertiwi adalah pemenang pada pertandingan tahun lalu. Ia terkenal memiliki ilmu silat dan ilmu gaib yang tinggi. Meski demikian, Unang Batin tidak merasa gentar menghadapinya.

Kedua peserta itu berdiri saling berhadapan dan saling menatap dengan pandangan yang tajam.

“Hai, Anak Muda! Keluarkanlah semua kemampuanmu karena aku sudah tidak sabar lagi ingin menghajarmu!” seru Marga Pertiwi.

“Baiklah, Marga Pertiwi. Majulah kalau berani!” tantang Uang Batin.

Tanpa diduga, tiba-tiba Marga Pertiwi langsung melayangkan sebuah pukulan keras ke arah wajah Unang Batin. Unang Batin yang sudah bersiap-siap sejak awal dapat menangkisnya dengan mudah. Marga Pertiwi pun langsung naik pitam karena pukulannya dapat dipatahkan oleh Unang Batin. Pukulan dan tendangan silih berganti ia layangkan namun tak satu pun yang mengenai tumbuh Unang Batin. Karena kesal, akhirnya ia mengeluarkan tenaga dalamnya.

Melihat mulut lawannya sedang berkomat-kamit membaca mantra, Unang Batin pun mundur selangkah dan segera memasang kuda-kuda sambil berdoa. Begitu Marga Pertiwi menyerangnya, ia hanya sedikit mengelak seraya melayangkan sebuah pukulan tenaga dalam tepat mengenai dada Marga Pertiwi. Tak ayal lagi, Marga Pertiwi pun terjungkal ke tanah hingga tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan. Akhirnya, Unang Batin dinyatakan sebagai pemenang dalam pertandingan tersebut. Seluruh warga Kampung Putih Doh pun bersorak gembira menyambut kemenangan Unang Batin.

“Horeee… horeee… horeee… Unang Batin menang!”

Sementara itu, para pendudung Marga Pertiwi merasa tidak senang dengan kemenangan Unang Batin. Di wajah mereka terlihat perasaan dendam yang begitu dalam. Pada malam ketiga setelah pertandingan tersebut, sebuah cahaya berwarna hijau berputar-putar di atas rumah Unang Batin. Cahaya itu adalah teluh yang dikirim oleh Marga Pertiwi untuk mencelekai Unang Batin. Namun, begitu cahaya hijau itu akan masuk ke dalam rumah melalui atap, tiba-tiba sebuah cahaya berwarna kuning keluar dari dalam rumah dan menghadangnya. Ternyata, Unang Batin telah mengetahui kedatangan teluh itu dan segera membaca doa penolak bala sehingga keluarlah cahaya kuning itu. Kedua cahaya tersebut bertarung dan saling berkejaran di atas kampung Putih Doh. Sungguh pemandangan yang indah tapi mengerikan. Semua warga menjadi khawatir atas keselamatan Unang Batin. Untungnya, ilmu penangkal Unang Batin dapat mengalahkan ilmu teluh Marga Pertiwi. Meskipun para warga memuji kesaktiannya, Unang Batin tetap saja selalu rendah diri.

“Ah, semua itu terjadi berkat pertolongan Yang Mahakuasa. Apalah artinya saya ini kalau pertolongan itu tidak ada,” kata Unang Batin setiap ada orang yang memujinya.

Sementara itu di tempat lain, Marga Pertiwi dan para pengikutnya sedang merencanakan sesuatu untuk mencelakai Unang Batin. Mereka akan mengadakan pesta pada malam hari dan mengundang Unang Batin. Pada saat pesta itu berlangsung, Unang Batin pun hadir. Tanpa disadarinya, sejumlah pengikut Marga Pertiwi secara diam-diam merusak tangga dan tiang-tiang rumahnya di Kampung Putih Doh. Unang Batin adalah orang yang pulang paling akhir dari pesat itu. Ketika akan naik ke rumahnya, tangga yang diinjaknya patah sehingga ia pun jatuh terjungkal ke tanah. Begitu ia akan bangkit, tiba-tiba datanglah sepuluh orang anak buah Marga Pertiwi mengepungnya dengan pedang terhunus. Unang Batin benar-benar tidak berdaya dan tidak lagi mampu mengadakan perlawanan. Sebelum nyawanya dihabisi, Unang Batin berpesan kepada musuh-musuhnya.

“Kalau aku mati, maka dalam tempo empat puluh hari kalian juga akan mati. Tidak hanya kalian, tapi seluruh keluarga kalian tidak akan ada yang selamat,” ucap Unang Batin.

Para musuhnya tidak menghiraukan ucapan Unang tersebut. Mereka pun menghabisi nyawa Unang Batin dan kemudian membuang mayatnya ke laut. Kejadian itu terjadi cepat sekali sehingga tak ada seorang pun warga yang mengetahuinya. Sebelum genap empat hari meninggalnya Unang Batin, para pembunuhnya, termasuk Marga Pertiwi, mengakui kekhilafan mereka di depan seluruh warga Kampung Putih Doh. Setelah itu, mereka mengakhiri hidup mereka dengan cara bunuh diri. Bahkan, sebelum kejadian itu, mereka juga telah menghabisi nyawa seluruh keturunan mereka.

Menurut cerita, Unang Batin berpesan demikian kepada musuh-musuhnya karena ia memiliki ilmu sakti, yaitu bahwa siapa pun orang yang membunuhnya maka orang-orang tersebut juga akan mati bersama dengan para keturunan mereka sebelum genap empat puluh hari meninggalnya Unang Batin. Rupanya, para musuhnya tidak memahami maksud pesan Unang Batin, dan bahkan mereka meremehkannya. Akibatnya, mereka pun terkena kutukan ilmu itu.

* * *

Demikian cerita Unang Batin dari daerah Lampung. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang di dalamnya terkandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, seperti keutamaan menuntut ilmu pengetahuan, sifat rendah hati, dan akibat buruk dari sifat pendendam. Sifat keutamaan menuntut ilmu dan rendah hati terlihat pada perilaku Unang Batin. Meskipun berilmu tinggi, ia tetap rendah hati. Maka, dengan ketinggian ilmunya dan kerendahan hatinya, ia pun diangkat menjadi ujang baru dan sangat dihormati oleh orang-orang sekitarnya, meskipun pada akhirnya ia meninggal karena didzalimi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu (Tenas Effendy: 2006: 111):

wahai ananda cahaya rumah,
menuntut ilmu tahan bersusah
menghadapi cobaan hendaklah tabah
supaya kelak hidupmu menakah

Kedua, akibat buruk dari sifat pendendam. Sifat ini terlihat pada sifat dan perilaku Marga Pertiwi dan seluruh pengikutnya yang selalu dendam kepada Unang Batin. Akibatnya, mereka dan seluruh keturunannnya pun menjadi celaka. Dikakatan pula dalam petuah orang-orang Melayu (Tenas Effendy: 2006: 376):
 
kalau suka berdendam kesumut,
alamat hidup akan melarat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...