Bab III. Menjadi Nabi dan Rosul
Gua Hira |
Gua Hira tempat diturunkannya Wahyu Ilahi Yang Maha Sakti, kalimat yang membuat iblis berputus asa untuk menyesatkan manusia, kalimat yang dengannya alam semesta berguncang. Al-Quran, susunan kalimatnya yang mengandung makna yang banyak, makna lahir dan makna batin, telah membuat tercengang manusia-manusia manapun di jagat raya, yang mengakui kebenarannya, akan mengikutinya, sedangkan yang tidak mengakuinya harus tunduk atas kebenarannya, dan bagi mereka yang menolak, dengan cara apapun akan sia-sia dan celaka.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan tahun 610 Masehi, yang kelak disebut nabi Muhammad SAW sebagai malam Lailah al-Qadr (lailatu qadar), Jibril (Ruh Al-Qudus) diutus Allah, Tuhan Semesta Alam, Rabbul ‘Aalamin, menyampaikan kalimat-Nya kepada Al-amin yang berada di Gua Hira. Muhammad SAW telah mempersiapkan dirinya selama empat puluh tahun untuk memikul tugas yang maha berat ini, ia telah menjadi manusia pembelajar secara alamiah sebelum kenabian dan kerasulan ditetapkan padanya.
Jibril datang kepadanya dengan membawa beberapa kalimat Allah. Ialah kalimat pertama yang dikemukakan dalam Al-quran sebagai berikut (QS 96:1-5)
“Bacalah dengan [ menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajari [manusia] dengan perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ayat pertama ini merupakan perintah Allah S.W.T yang disampaikan kepada Nabi Muhammad S.A.W melalui Malaikat Jibril untuk “Membaca” atau “Iqra”. Apa yang dibaca dan apa maksudnya “membaca” berhubungan dengan Allah S.W.T sebagai Pencipta makhluk atau ar-Rabb. Jadi, kalau umat Islam tidak membaca tanda-tanda (ayat-ayat) Kekuasaan Allah SWT sebagai Pencipta makhluk berarti telah melanggar satu perintah agung dari Allah SWT langsung. Turunnya 5 ayat surat al-‘Alaq ini dengan tegas menyatakan tentang program atau rencana yang akan diamanatkan kepada Nabi.
Pada suatu malam di bulan Ramadhan tahun 610 Masehi, yang kelak disebut nabi Muhammad SAW sebagai malam Lailah al-Qadr (lailatu qadar), Jibril (Ruh Al-Qudus) diutus Allah, Tuhan Semesta Alam, Rabbul ‘Aalamin, menyampaikan kalimat-Nya kepada Al-amin yang berada di Gua Hira. Muhammad SAW telah mempersiapkan dirinya selama empat puluh tahun untuk memikul tugas yang maha berat ini, ia telah menjadi manusia pembelajar secara alamiah sebelum kenabian dan kerasulan ditetapkan padanya.
Jibril datang kepadanya dengan membawa beberapa kalimat Allah. Ialah kalimat pertama yang dikemukakan dalam Al-quran sebagai berikut (QS 96:1-5)
“Bacalah dengan [ menyebut] nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajari [manusia] dengan perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ayat pertama ini merupakan perintah Allah S.W.T yang disampaikan kepada Nabi Muhammad S.A.W melalui Malaikat Jibril untuk “Membaca” atau “Iqra”. Apa yang dibaca dan apa maksudnya “membaca” berhubungan dengan Allah S.W.T sebagai Pencipta makhluk atau ar-Rabb. Jadi, kalau umat Islam tidak membaca tanda-tanda (ayat-ayat) Kekuasaan Allah SWT sebagai Pencipta makhluk berarti telah melanggar satu perintah agung dari Allah SWT langsung. Turunnya 5 ayat surat al-‘Alaq ini dengan tegas menyatakan tentang program atau rencana yang akan diamanatkan kepada Nabi.
Karena itu, surat ke-1 sampai ke-5 surat al-‘Alaq dengan perintah “Iqra” atau “Baca” secara langsung menyatakan bahwa dasar-dasar kebenaran al-Haqq bagi manusia untuk menjalani kehidupan yang benar sebagai suatu agama yang mengikat yang nanti akan disampaikan Muhammad berhubungan dengan proses belajar yang terus menerus tentang kehidupan dimana di dalamnya terdapat proses atau tatacara pengkajian, pengetahuan, kebijaksanaan, dan penggunaan pena (kalam) untuk menulis. Pena atau Qalam, yang kelak namanya menjadi salah satyu nama surat dalam Al Qur’an yaitu suraka Al-Qalam (QS 68), karena itu pengertiannya sangat penting bagi Umat Islam. Kenapa demikian? Karena dengan menuliskan ilmu pengetahuan tentang Kekuasaan Allah maka ilmu akan terikat, menjadi buku, kitab, dan akhirnya nanti akan dapat diajarkan kepada generasi manusia selanjutnya. Jadi, betapa dahsyatnya perintah Allah SWT yang pertama kali diterima Nabi Muhammad SAW itu karena berhubungan dengan “membaca”, “menulis”, dan perintah belajar secara terus menerus supaya manusia bisa selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Muhammad, pembawa berita bahagia, merupakan manusia teladan sepanjang masa, ia adalah manusia dalam wujud dimana asma-asama, sifat-sifat, dan perbuatan Ilahiah dinyatakan sebagai suatu adab dan akhlak bagi manusia sebagai makhluk berpikir, bukan binatang tanpa akal, Ia adalah utusan Tuhan yang kepadanya ummat manusia memohonkan syafaat. Tidak satupun mahkluk yang mencapai kesempurnaan yang dapat dicapai Muhammad dengan kehambaannya dihadapan Allah SWT bukan dengan kesombongan yang dapat menabiri kemuliaan wujud manusianya.
Sejak kecil ia telah memperlihatkan ketulusan, kejujuran, manusia yang seumur hidupnya tidak pernah berbohong, yang tidak pernah menghianati janji, dan sayang kepada kaum yang miskin, lemah dan papa. Ia bagaikan raja bagi kaum dhuafa maupun bagi para penguasa dunia, dan ditakuti para dajjal yang matahatinya buta.
Malaikat Jibril menyelesaikan tugasnya menyampaikan wahyu pertama itu, dan Muhammad pun turun dari Gua Hira menuju rumah Khodijah dengan rasa takut amat sangat. Tubuhnya masih menggigil ketakutan ketika sampai di rumah dan di sambut dengan istrinya Khadijah. Namun, saat itu Jiwa agung Nabi Muhammad telah disinari cahaya wahyu. Beliau merekam di hatinya apa yang didengarnya dari malaikat Jibril. Setelah kejadian ini, Jibril menyapanya, “Wahai Muhammad! Engkau Rosul Allah dan akulah Jibril.”
Muhammad menerima kalimat Ilahi secara bertahap, secara berangsur-angsur. Fakta sejarah mengakui bahwa di antara wanita, Khodijah adalah wanita yang pertama memeluk Islam, dan pria pertama yang memeluk Islam adalah syayidina Ali k.w.j.
Suatu saat, ketika dirasakan waktunya tiba untuk mengungkapkan siapa dirinya, Muhammad mengadakan perjamuan makan dengan kerabatnya. Selesai makan, beliau berpaling kepada para sesepuh keluarganya dan memulai pembicaraan dengan memuji Allah dan memaklumkan keesaan-Nya. Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya, pemandu suatu kaum tak pernah berdusta kepada kaumnya. Saya bersumpah demi Allah yang tak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai Rosul-Nya, khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni dunia. Wahai kerabat saya! Anda sekalian akan mati. Sesudah itu, seperti Anda tidur, Anda akan dihidupkan kembali dan akan menerima pahala menurut amal Anda. Imbalannya adalah surga Allah yang abadi (bagi orang lurus) dan neraka-Nya yang kekal(bagi orang yang berbuat jahat).
Malaikat Jibril menyelesaikan tugasnya menyampaikan wahyu pertama itu, dan Muhammad pun turun dari Gua Hira menuju rumah Khodijah dengan rasa takut amat sangat. Tubuhnya masih menggigil ketakutan ketika sampai di rumah dan di sambut dengan istrinya Khadijah. Namun, saat itu Jiwa agung Nabi Muhammad telah disinari cahaya wahyu. Beliau merekam di hatinya apa yang didengarnya dari malaikat Jibril. Setelah kejadian ini, Jibril menyapanya, “Wahai Muhammad! Engkau Rosul Allah dan akulah Jibril.”
Muhammad menerima kalimat Ilahi secara bertahap, secara berangsur-angsur. Fakta sejarah mengakui bahwa di antara wanita, Khodijah adalah wanita yang pertama memeluk Islam, dan pria pertama yang memeluk Islam adalah syayidina Ali k.w.j.
Suatu saat, ketika dirasakan waktunya tiba untuk mengungkapkan siapa dirinya, Muhammad mengadakan perjamuan makan dengan kerabatnya. Selesai makan, beliau berpaling kepada para sesepuh keluarganya dan memulai pembicaraan dengan memuji Allah dan memaklumkan keesaan-Nya. Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya, pemandu suatu kaum tak pernah berdusta kepada kaumnya. Saya bersumpah demi Allah yang tak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai Rosul-Nya, khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni dunia. Wahai kerabat saya! Anda sekalian akan mati. Sesudah itu, seperti Anda tidur, Anda akan dihidupkan kembali dan akan menerima pahala menurut amal Anda. Imbalannya adalah surga Allah yang abadi (bagi orang lurus) dan neraka-Nya yang kekal(bagi orang yang berbuat jahat).
Lalu beliau menambahkan,Tak ada manusia yang pernah membawa kebaikan untuk kaumnya ketimbang apa yang saya bawakan untuk Anda. Saya membawakan kepada Anda rahmat dunia maupun Akhirat. Tuhan saya memerintahkan kepada saya untuk mengajak Anda kepada-Nya. Siapakah diantara Anda sekalian yang akan menjadi pendukung saya sehingga ia akan menjadi saudara, washi (penerima wasiat), dan khalifah (pengganti) saya?.”
Ketika pidato Nabi mencapai titik ini, semua terpaku, sel-sel kelabu otak masing-masing yang hadir mendadak membeku, kebisuan total melanda pertemuan itu. Ali, remaja berusia lima belas tahun, memecahkan kebisuan itu. Ia bangkit seraya berkata dengan mantap, “Wahai Nabi Allah, saya siap mendukung Anda.”
Nabi menyuruhnya duduk. Nabi mengulang tiga kali ucapannya, tapi tak ada yang menyambut kecuali Ali yang terus melontarkan jawaban yang sama. Beliau lalu berpaling kepada kerabatnya seraya berkata, “Pemuda ini adalah saudara, washi, dan khalifah saya diantara kalian. Dengarkanlah kata-katanya dan ikuti dia”. Ali kemudian sering disebut Karamallahu Wajhah (KWJ) yang maksudnya seseorang yang tidak pernah menyembah berhala ataupun memakan makanan dari hasil untuk sesembahan berhala.
Peristiwa diatas membuktikan heroisme spiritual dan kebenaran Ali tanpa keraguan. Karena, dalam pertemuan di mana orang-orang tua dan berpengalaman tenggelam dalam keraguan dan keheranan, ia menyatakan dukungan dan pengabdian dengan keberanian sempurna dan mengungkapkan permusuhannya terhadap musuh Nabi tanpa menempuh jalan politisi yang mengangkat diri sendiri. Kendati waktu itu ia yang termuda diantara yang hadir, pergaulannya yang lama dengan Nabi telah menyiapkan pikirannya untuk menerima kenyataan, melihat bukti hidup tentang kemuliaan akhlak yang nyata, menyelaminya, dan mematuhinya, sementara para sesepuh bangsa ragu-ragu untuk menerimanya.
Setelah berdakwah kepada kaum kerabatnya, Nabi berdakwah terang-terangan kepada kaum Quraisy. Muhammad, berbekal kesabaran, keyakinan, kegigihan, dan keuletan dalam berdakwah terus-menerus dan tidak menghiraukan orang-orang musyrik yang terus mencemoohnya, menghardiknya, mengejeknya bahkan suatu ketika memuncak menjadi ingin membunuhnya.
Banyak cara yang dilakukan kaum Quraisy untuk menghentikan Muhammad. Suatu saat Abu Tholib sedang duduk bersama keponakannya. Juru bicara rombongan yang mendatangi rumah Abu Tholib membuka pembicaraan dengan berkata, “Wahai Abu Tholib! Muhammad mencerai-beraikan barisan kita dan menciptakan perselisihan diantara kita. Ia merendahkan kita dan mencemooh kita dan berhala kita. Jika ia melakukan itu karena kemiskinan dan kepapaannya, kami siap menyerahkan harta berlimpah kepadanya. Jika ia menginginkan kedudukan, kami siap menerimanya sebagai penguasa kami dan kami akan mengikuti perintahnya. Bila ia sakit dan membutuhkan pengobatan, kami akan membawakan tabib ahli untuk merawatnya.”
Abu Tholib berpaling kepada Nabi seraya berkata, “Para sesepuh anda datang untuk meminta Anda berhenti mengkritik berhala supaya mereka pun tidak mengganggu Anda.” Nabi menjawab, “Saya tidak menginginkan apa pun dari mereka. Bertentangan dengan empat tawaran itu, mereka harus menerima satu kata dari saya, yang dengan itu mereka dapat memerintah bangsa Arab dan menjadikan bangsa Ajam sebagai pengikut mereka”. Abu Jahal bangkit sambil berkata, “Kami siap sepuluh kali untuk mendengarnya”. Nabi menjawab, “Kalian harus mengakui keesaan Tuhan”.
Kata-kata tak terduga dari Nabi ini laksana air dingin ditumpahkan ke ceret panas. Mereka demikian heran, kecewa, dan putus asa sehingga serentak mereka berkata, “Haruskah kita mengabaikan 360 Tuhan (berhala) dan menyembah kepada satu Allah saja?”
Orang Quraisy meninggalkan rumah Abu Tholib dengan wajah dan mata terbakar kemarahan. Mereka terus memikirkan cara untuk mencapai tujuan mereka. Dalam ayat berikut, kejadian itu dikatakan,
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja ? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka [seraya berkata],Pergilah kamu dan tetaplah [menyembah] tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir ini; ini(mengesakan Allah) tidak lain kecuali dusta yang diada-adakan.”
Banyak sekali contoh penganiayaan dan penyiksaan kaum Quraisy. Tiap hari Nabi menghadapi penganiayaan baru. Misalnya, suatu hari Uqbah bin Abi Muith melihat Nabi bertawaf, lalu menyiksanya. Ia menjerat leher Nabi dengan serbannya dan menyeret beliau ke luar masjid. Beberapa orang datang membebaskan Nabi karena takut pembalasan dari Bani Hasyim. Dan masih banyak lagi.
Nabi menyadari dan prihatin terhadap kondisi kaum Muslim. Kendati beliau mendapat dukungan dan lindungan Bani Hasyim, kebanyakan pengikutnya budak wanita dan pria serta beberapa orang tak terlindung. Para pemimpin Quraisy menganiaya orang-orang ini terus-menerus , para pemimpin terkemuka berbagai suku menyiksa anggota suku mereka sendiri yang memeluk Islam. Maka ketika para sahabatnya meminta nasihatnya menyangkut hijrah, Nabi menjawab, “Ke Etiopia akan lebih mantap. Penguasanya kuat dan adil, dan tak ada orang yang ditindas di sana. Tanah negeri itu baik dan bersih, dan Anda boleh tinggal di sana sampai Allah menolong Anda.”
Pasukan musyrik Quraisy kehabisan akal untuk menghancurkan Muhammad. Mereka melakukan propaganda anti Muhammad, diantaranya mereka memfitnah Nabi, bersikeras menjuluki Nabi Gila, larangan mendengarkan Al-Quran, menghalangi orang masuk Islam, sehingga Allah mengabadikan perkataan orang-orang keji ini dan menunjukkan sesatnya perkataan mereka, dalam Al-Quran Allah berfirman
“Demikianlah, tiada seorang rosul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka selain mengatakan,Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu ? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.”
Kaum Quraisy pun gagal melakukan berbagai macam cara untuk menghalangi usaha Muhammad, dan menghalangi orang-orang untuk mengikuti agama Tuhan Yang Esa. Mereka pun melakukan blokade ekonomi yang membuat banyak kaum muslim, terutama kaum wanita dan anak-anak kelaparan. Nabi dan para pengikutnya masuk ke Syiib Abu Tholib, yang diikuti pendamping hidupnya, Khodijah, dengan membawa serta Fatimah AS. Orang-orang Quraisy mengepung mereka di Syiib itu selama tiga tahun. Dan akhirnya tahun-tahun blokade itu pun berakhir. Dan keluarlah Nabi bersama keluarga dan sahabatnya dari pengepungan.
Allah telah menetapkan kemenangan bagi mereka, dan Khodijah pun berhasil pula keluar dari pengepungan dalam keadaan amat berat dan menderita. Beliau telah hidup dengan kehidupan yang menjadi teladan Istimewa bagi kalangan kaum wanita. Namun, ajal Khodijah sudah dekat. Allah telah memilihnya untuk mendampingi Rosulullah SAW, dan dia telah berhasil menunaikan tugas dengan baik. Khodijah akhirnya meninggal pada tahun itu juga. Yakni, pada saat kaum Muslim keluar dari blokade orang-orang Quraisy, tahun kesepuluh sesudah Kenabian.
Pada tahun yang sama, paman Rosul (Abu Tholib) meninggal dunia, yang sekaligus sebagai pelindung dakwa Muhammad. Sungguh Nabi mengalami kesedihan yang amat berat. Beliau kehilangan Khodijah, dan juga pamannya yang menjadi pelindung, dan pembelanya. Itu sebabnya, maka tahun ini dinamakan Am Al-Huzn (Tahun Duka cita).
Bukan hanya Rosul yang terpukul hatinya, Fatimah az Zahra, yang belum kenyang mengenyam kasih sayang seorang ibu dan kelembutan belaiannya, ikut pula menanggungnya. Kedukaan menyelimuti dan menindihnya di tahun penuh kesedihan itu. Fatimah kehilangan ibundanya, berpisah dari orang yang menjadi sumber cintanya dan kasih sayangnya. Acap kali dia bertanya kepada ayahandanya, “Ayah, kemana Ibu?” Kalau sudah begini, tangisnya pecah, air matanya meleleh, dan kesedihan menerpa hatinya. Rosul merasakan betapa berat kesedihan yang ditanggung putrinya.
Setelah wafatnya Abu Tholib kaum Kafir Quraisy semakin berani menganggu Muhammad. Akhirnya Muhammad berhijrah ke Yastrib. Peristiwa hijrahnya Nabi ke Yastrib merupakan momen awal dari lahirnya Umat Islam yang lebih terorganisir. Penduduk Yastrib bersedia memikul tanggung jawab bagi keselamatan Nabi. Di bulan Robiul Awwal tahun ini, saat hijrahnya Nabi terjadi, tak ada seorang muslim pun yang tertinggal di Mekah kecuali Nabi, Ali dan Abu Bakar, dan segelintir orang yang ditahan Quraisy atau karena sakit, dan lanjut usia.
Kaum Quraisy yang berada di Mekah akhirnya membuat kesepakatan untuk membunuh Muhammad di malam hari. Masing-masing suku mempunyai wakil, sehingga Bani Hasyim tidak dapat menuntut balas atas kematian Muhammad. Mereka mengira Muhammad dapat dihancurkan hanya dengan cara seperti ini, seperti urusan duniawi mereka. Jibril datang memberitahu Nabi tentang rencana kejam kaum kafir itu. Al-Quran merujuk pada kejadian itu dengan kata-kata,
“Dan [ingatlah] ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.”
Ali berbaring melewati cobaan yang mengerikan demi keselamatan Islam menggantikan Nabi, sejak sore. Ia bukan orang tua yang lanjut usia, tapi seorang anak muda yang begitu berani mengorbankan nyawanya untuk sang Nabi, ia, yang bersama Khodijah adalah orang yang pertama-tama beriman kepada Nabi, dialah orang yang rela berkorban untuk Nabi. Kepada Ali Nabi berkata, “Tidurlah di ranjang saya malam ini dan tutupi tubuh Anda dengan selimut hijau yang biasa saya gunakan, karena musuh telah bersekongkol membunuh saya. Saya harus berhijrah ke Yastrib.” Ali menempati ranjang Nabi sejak sore. Ketika tiga perempat malam lewat, empat puluh orang mengepung rumah nabi dan mengintipnya melalui celah. Mereka melihat keadaan rumah seperti biasanya, dan menyangka bahwa orang yang sedang tidur di kamar itu adalah Nabi.
Ketika pidato Nabi mencapai titik ini, semua terpaku, sel-sel kelabu otak masing-masing yang hadir mendadak membeku, kebisuan total melanda pertemuan itu. Ali, remaja berusia lima belas tahun, memecahkan kebisuan itu. Ia bangkit seraya berkata dengan mantap, “Wahai Nabi Allah, saya siap mendukung Anda.”
Nabi menyuruhnya duduk. Nabi mengulang tiga kali ucapannya, tapi tak ada yang menyambut kecuali Ali yang terus melontarkan jawaban yang sama. Beliau lalu berpaling kepada kerabatnya seraya berkata, “Pemuda ini adalah saudara, washi, dan khalifah saya diantara kalian. Dengarkanlah kata-katanya dan ikuti dia”. Ali kemudian sering disebut Karamallahu Wajhah (KWJ) yang maksudnya seseorang yang tidak pernah menyembah berhala ataupun memakan makanan dari hasil untuk sesembahan berhala.
Peristiwa diatas membuktikan heroisme spiritual dan kebenaran Ali tanpa keraguan. Karena, dalam pertemuan di mana orang-orang tua dan berpengalaman tenggelam dalam keraguan dan keheranan, ia menyatakan dukungan dan pengabdian dengan keberanian sempurna dan mengungkapkan permusuhannya terhadap musuh Nabi tanpa menempuh jalan politisi yang mengangkat diri sendiri. Kendati waktu itu ia yang termuda diantara yang hadir, pergaulannya yang lama dengan Nabi telah menyiapkan pikirannya untuk menerima kenyataan, melihat bukti hidup tentang kemuliaan akhlak yang nyata, menyelaminya, dan mematuhinya, sementara para sesepuh bangsa ragu-ragu untuk menerimanya.
Setelah berdakwah kepada kaum kerabatnya, Nabi berdakwah terang-terangan kepada kaum Quraisy. Muhammad, berbekal kesabaran, keyakinan, kegigihan, dan keuletan dalam berdakwah terus-menerus dan tidak menghiraukan orang-orang musyrik yang terus mencemoohnya, menghardiknya, mengejeknya bahkan suatu ketika memuncak menjadi ingin membunuhnya.
Banyak cara yang dilakukan kaum Quraisy untuk menghentikan Muhammad. Suatu saat Abu Tholib sedang duduk bersama keponakannya. Juru bicara rombongan yang mendatangi rumah Abu Tholib membuka pembicaraan dengan berkata, “Wahai Abu Tholib! Muhammad mencerai-beraikan barisan kita dan menciptakan perselisihan diantara kita. Ia merendahkan kita dan mencemooh kita dan berhala kita. Jika ia melakukan itu karena kemiskinan dan kepapaannya, kami siap menyerahkan harta berlimpah kepadanya. Jika ia menginginkan kedudukan, kami siap menerimanya sebagai penguasa kami dan kami akan mengikuti perintahnya. Bila ia sakit dan membutuhkan pengobatan, kami akan membawakan tabib ahli untuk merawatnya.”
Abu Tholib berpaling kepada Nabi seraya berkata, “Para sesepuh anda datang untuk meminta Anda berhenti mengkritik berhala supaya mereka pun tidak mengganggu Anda.” Nabi menjawab, “Saya tidak menginginkan apa pun dari mereka. Bertentangan dengan empat tawaran itu, mereka harus menerima satu kata dari saya, yang dengan itu mereka dapat memerintah bangsa Arab dan menjadikan bangsa Ajam sebagai pengikut mereka”. Abu Jahal bangkit sambil berkata, “Kami siap sepuluh kali untuk mendengarnya”. Nabi menjawab, “Kalian harus mengakui keesaan Tuhan”.
Kata-kata tak terduga dari Nabi ini laksana air dingin ditumpahkan ke ceret panas. Mereka demikian heran, kecewa, dan putus asa sehingga serentak mereka berkata, “Haruskah kita mengabaikan 360 Tuhan (berhala) dan menyembah kepada satu Allah saja?”
Orang Quraisy meninggalkan rumah Abu Tholib dengan wajah dan mata terbakar kemarahan. Mereka terus memikirkan cara untuk mencapai tujuan mereka. Dalam ayat berikut, kejadian itu dikatakan,
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja ? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka [seraya berkata],Pergilah kamu dan tetaplah [menyembah] tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir ini; ini(mengesakan Allah) tidak lain kecuali dusta yang diada-adakan.”
Banyak sekali contoh penganiayaan dan penyiksaan kaum Quraisy. Tiap hari Nabi menghadapi penganiayaan baru. Misalnya, suatu hari Uqbah bin Abi Muith melihat Nabi bertawaf, lalu menyiksanya. Ia menjerat leher Nabi dengan serbannya dan menyeret beliau ke luar masjid. Beberapa orang datang membebaskan Nabi karena takut pembalasan dari Bani Hasyim. Dan masih banyak lagi.
Nabi menyadari dan prihatin terhadap kondisi kaum Muslim. Kendati beliau mendapat dukungan dan lindungan Bani Hasyim, kebanyakan pengikutnya budak wanita dan pria serta beberapa orang tak terlindung. Para pemimpin Quraisy menganiaya orang-orang ini terus-menerus , para pemimpin terkemuka berbagai suku menyiksa anggota suku mereka sendiri yang memeluk Islam. Maka ketika para sahabatnya meminta nasihatnya menyangkut hijrah, Nabi menjawab, “Ke Etiopia akan lebih mantap. Penguasanya kuat dan adil, dan tak ada orang yang ditindas di sana. Tanah negeri itu baik dan bersih, dan Anda boleh tinggal di sana sampai Allah menolong Anda.”
Pasukan musyrik Quraisy kehabisan akal untuk menghancurkan Muhammad. Mereka melakukan propaganda anti Muhammad, diantaranya mereka memfitnah Nabi, bersikeras menjuluki Nabi Gila, larangan mendengarkan Al-Quran, menghalangi orang masuk Islam, sehingga Allah mengabadikan perkataan orang-orang keji ini dan menunjukkan sesatnya perkataan mereka, dalam Al-Quran Allah berfirman
“Demikianlah, tiada seorang rosul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka selain mengatakan,Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu ? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.”
Kaum Quraisy pun gagal melakukan berbagai macam cara untuk menghalangi usaha Muhammad, dan menghalangi orang-orang untuk mengikuti agama Tuhan Yang Esa. Mereka pun melakukan blokade ekonomi yang membuat banyak kaum muslim, terutama kaum wanita dan anak-anak kelaparan. Nabi dan para pengikutnya masuk ke Syiib Abu Tholib, yang diikuti pendamping hidupnya, Khodijah, dengan membawa serta Fatimah AS. Orang-orang Quraisy mengepung mereka di Syiib itu selama tiga tahun. Dan akhirnya tahun-tahun blokade itu pun berakhir. Dan keluarlah Nabi bersama keluarga dan sahabatnya dari pengepungan.
Allah telah menetapkan kemenangan bagi mereka, dan Khodijah pun berhasil pula keluar dari pengepungan dalam keadaan amat berat dan menderita. Beliau telah hidup dengan kehidupan yang menjadi teladan Istimewa bagi kalangan kaum wanita. Namun, ajal Khodijah sudah dekat. Allah telah memilihnya untuk mendampingi Rosulullah SAW, dan dia telah berhasil menunaikan tugas dengan baik. Khodijah akhirnya meninggal pada tahun itu juga. Yakni, pada saat kaum Muslim keluar dari blokade orang-orang Quraisy, tahun kesepuluh sesudah Kenabian.
Pada tahun yang sama, paman Rosul (Abu Tholib) meninggal dunia, yang sekaligus sebagai pelindung dakwa Muhammad. Sungguh Nabi mengalami kesedihan yang amat berat. Beliau kehilangan Khodijah, dan juga pamannya yang menjadi pelindung, dan pembelanya. Itu sebabnya, maka tahun ini dinamakan Am Al-Huzn (Tahun Duka cita).
Bukan hanya Rosul yang terpukul hatinya, Fatimah az Zahra, yang belum kenyang mengenyam kasih sayang seorang ibu dan kelembutan belaiannya, ikut pula menanggungnya. Kedukaan menyelimuti dan menindihnya di tahun penuh kesedihan itu. Fatimah kehilangan ibundanya, berpisah dari orang yang menjadi sumber cintanya dan kasih sayangnya. Acap kali dia bertanya kepada ayahandanya, “Ayah, kemana Ibu?” Kalau sudah begini, tangisnya pecah, air matanya meleleh, dan kesedihan menerpa hatinya. Rosul merasakan betapa berat kesedihan yang ditanggung putrinya.
Setelah wafatnya Abu Tholib kaum Kafir Quraisy semakin berani menganggu Muhammad. Akhirnya Muhammad berhijrah ke Yastrib. Peristiwa hijrahnya Nabi ke Yastrib merupakan momen awal dari lahirnya Umat Islam yang lebih terorganisir. Penduduk Yastrib bersedia memikul tanggung jawab bagi keselamatan Nabi. Di bulan Robiul Awwal tahun ini, saat hijrahnya Nabi terjadi, tak ada seorang muslim pun yang tertinggal di Mekah kecuali Nabi, Ali dan Abu Bakar, dan segelintir orang yang ditahan Quraisy atau karena sakit, dan lanjut usia.
Kaum Quraisy yang berada di Mekah akhirnya membuat kesepakatan untuk membunuh Muhammad di malam hari. Masing-masing suku mempunyai wakil, sehingga Bani Hasyim tidak dapat menuntut balas atas kematian Muhammad. Mereka mengira Muhammad dapat dihancurkan hanya dengan cara seperti ini, seperti urusan duniawi mereka. Jibril datang memberitahu Nabi tentang rencana kejam kaum kafir itu. Al-Quran merujuk pada kejadian itu dengan kata-kata,
“Dan [ingatlah] ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.”
Ali berbaring melewati cobaan yang mengerikan demi keselamatan Islam menggantikan Nabi, sejak sore. Ia bukan orang tua yang lanjut usia, tapi seorang anak muda yang begitu berani mengorbankan nyawanya untuk sang Nabi, ia, yang bersama Khodijah adalah orang yang pertama-tama beriman kepada Nabi, dialah orang yang rela berkorban untuk Nabi. Kepada Ali Nabi berkata, “Tidurlah di ranjang saya malam ini dan tutupi tubuh Anda dengan selimut hijau yang biasa saya gunakan, karena musuh telah bersekongkol membunuh saya. Saya harus berhijrah ke Yastrib.” Ali menempati ranjang Nabi sejak sore. Ketika tiga perempat malam lewat, empat puluh orang mengepung rumah nabi dan mengintipnya melalui celah. Mereka melihat keadaan rumah seperti biasanya, dan menyangka bahwa orang yang sedang tidur di kamar itu adalah Nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar