Putri Ayu Nyimas Rahima

Putri Ayu adalah gelar yang diberikan kepada seorang pejuang wanita dari Jambi bernama Nyi Mas Rahima. Ia mendapat gelar Putri Ayu karena memiliki paras yang cantik jelita. Tidak hanya cantik, Putri Ayu juga disebut-sebut sebagai pejuang wanita melawan penjajah Belanda. Bagaimana sepak terjang Putri Ayu atau Nyi Mas Rahima dalam menghadapi para kompeni Belanda? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Putri Ayu Nyimas Rahima berikut ini!

* * *

Dahulu, di Tanah Pulih atau tepatnya di daerah Tanjung Pasir, Jambi, ada seorang gadis cantik bernama Putri Rahima. Ia adalah putri semata wayang Kemas Mahmud, seorang tokoh yang dihormati di kampung itu. Kecantikan Putri Rahima bagai bidadari dari kahyangan. Selain cantik, ia juga pandai mengaji dengan suara yang merdu. Sopan-santun dan budi-bahasanya pun amat elok. Kemahirannya memasak, menjahit, menenun, dan merenda membuat putri Kemas Mahmud itu semakin sempurna sebagai gadis idaman bagi setiap pemuda.

Kabar tentang kecantikan Putri Rahima tersebar hingga ke seluruh pelosok wilayah Jambi, meskipun pada saat itu sedang berkecamuk perang melawan Belanda. Para pemuda pejuang Jambi yang banyak bergerilya ke tengah-tengah hutan pun mendengar kabar tersebut. Berita itu juga sampai ke telinga Sultan Muhammad yang memerintah di daerah Kampung Lereng. Ia adalah sultan yang masih muda, tampan, dan berwibawa. Ia juga terkenal saleh dan taat beribadah.

Suatu hari, Sultan Muhammad diam-diam meninggalkan istana untuk membuktikan berita tentang kecantikan Putri Rahima. Ternyata benar, saat melihat kecantikan putri Kemas Mahmud itu, Sultan Muhammad berdecak kagum.

“Oh, Putri Rahima benar-benar gadis yang sempurna. Kecantikannya sungguh luar biasa dan tiada tandingannya di negeri ini,” gumam Sultan Muhammad dengan kagum.

Kecantikan Putri Rahima telah memikat hati Sultan Muhammad. Ia pun tak sabar lagi ingin segera meminangnya. Setelah kembali ke istana, sultan muda itu segera mengumpulkan beberapa pembesar kerajaan dan kemudian mengutus mereka untuk meminang Putri Rahima.

 
“Maaf, Pak Kemas. Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan pinangan Tuan kami Sultah Muhammad untuk putri Pak Kemas,” kata salah seorang utusan.

“Kami menyambut baik atas niat baik raja kalian. Tapi, berilah kami waktu satu hari untuk merundingkan masalah ini bersama keluarga kami,” pinta Pak Kemas, “Tuan-tuan boleh kembali ke mari besok untuk mengetahui keputusan dari keluarga kami.”

Para utusan Sultan Muhammad pun berpamitan pulang ke istana dan pada esok harinya mereka kembali ke rumah Kemas Mahmud.

“Bagaimana hasil perundingan keluarga, Pak Kemas?” tanya seorang utusan Sultan Muhammad.

Kemas Mahmud pun menyampaikan hasil musyawarah bersama keluarga besarnya melalui ungkapan seperti berikut:

“Dari buat ke Batang Asai, singgah bermalam di Dusun Kerak; Urusan adat sudah selesai, tinggal lagi urusan sarak.”

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Kemas Mahmud dan keluarga besarnya menerima pinangan Sultan Muhammad. Kini, tinggal pelaksanaan pesta pernikahan Putri Rahima dan Sultan Muhammad. Namun karena saat itu dalam keadaan perang, maka kedua belah pihak bersepakat untuk meniadakan pesta pernikahan agar tidak mengundang perhatian penjajah Belanda. Namun, pesta tersebut diganti dengan acara sedekah hari pengantin.

Setelah sah menjadi permaisurinya, Sultan Muhammad pun memboyong Putri Rahima ke istana. Sejak itulah, putri semata wayang Kemas Mahmud itu tinggal di istana dengan gelar Nyi Mas Rahima. Ia pun hidup berbahagia dan saling mengasihi dengan suaminya.

Dua tahun kemudian, Nyi Mas Rahima melahirkan seorang putra dan diberi nama Pangeran Adipati. Kehadiran sang pangeran kecil di tengah-tengah keluarga menambah kebahagian Sultan Muhammad dan permaisurinya. Kasih sayang sang Sultan kepada Nyi Mas Rahima pun semakin dalam. Namun, di tengah-tengah kebahagiaan mereka tersebut, peperangan semakin berkecamuk. Sebagai warga negara yang baik, Sultan Muhammad pun merasa terpanggil untuk membela tanah air.

Sultan Muhammad kerap meninggalkan istana karena harus bertempur melawan penjajah Belanda. Hal itu membuat perhatian terhadap keluarganya semakin berkurang. Untung Nyi Mas Rahima seorang ibu yang bijaksana. Ia selalu memberi pengertian kepada putranya yang sudah mulai tumbuh menjadi kanak-kanak yang cerdas tentang perjuangan sang Ayah.

“Putraku, Adipati. Ayahmu adalah seorang pejuang. Itulah sebabnya ia selalu pergi meninggalkan kita demi membela tanah air yang tercinta ini,” ujar Nyi Mas Rahima.

Nasehat tersebut selalu Nyia Mas Rahima sampaikan kepada putranya setiap kali sang Ayah pergi berperang. Maka, jadilah Pangeran Adipati sebagai anak yang berjiwa kesatria. Ia bahkan seringkali berceloteh ingin membantu ayahnya mengusir penjajah Belanda.

“Bunda..., kenapa Ayah tidak pernah mengajak Pati ikut berperang? Padahal, Pati ingin sekali membantu Ayah mengusir penjajah itu,” kata Pangeran Adipati.

“Pati, Putraku. Engkau masih kecil. Kelak jika kamu sudah besar, Ayah pasti akan mengajakmu. Saat ini, kita hanya bisa mendukung perjuangan Ayah dengan doa agar selamat dari peperangan,” ujar Nyi Mas Rahima.

Nyi Mas Rahima terus melantunkan doa demi keselamatan sang Suami dan pasukannya. Namun, tak jarang ia merasa cemas menunggu kepulangan suaminya dari medan perang.

Sementara itu, sikap permusuhan penjajah Belanda semakin hari semakin merajalela. Mereka terus memperluas wilayah kekuasaannya di hampir wilayah Jambi. Bahkan, mereka telah membangun benteng pertahanan di sekitar istana. Keaadan itu membuat Nyi Mas Rahima bertambah cemas. Apalagi saat itu dia sedang mengandung anak keduanya.

Ketika suaminya sedang meninggalkan istana, serdadu Belanda kerap berkeliaran di sekitar istana. Ia merasa bahwa tanah airnya semakin terancam. Di samping itu, ia juga selalu mencemaskan keselamatan suaminya yang sudah beberapa hari belum kembali dari medan perang. Perasaan-perasaan itu terus membebani batinnya. Di saat kandungannya semakin besar, ia menjadi lemah dan sering sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal dunia sebelum melahirkan anak keduanya.

Kepergian sang Bunda memberi duka yang sangat dalam bagi Pangeran Adipati. Ditambah pula kabar tentang keberadaan sang Ayah belum juga diketahui rimbanya. Untuk mengenang Nyi Mas Rahima yang ramah, penyayang, dan selalu mendukung perjuangan suaminya, para keluarga istana kemudian membuatkan makam yang dikelilingi tembok untuk Nyi Mas Rahima. Mereka pun terus menjaga dan merawat makam itu.

Sementara itu, kehadiran serdadu Belanda membuat benteng di sekitar istana semakin terancam. Akhirnya, keluarga istana memutuskan untuk mengungsi ke hulu Batang Hari Jambi dengan memboyong Pangeran Adipati. Suatu malam, mereka pun meninggalkan istana secara diam-diam. Keesokan hari, para serdadu Belanda pun segera menempati istana yang telah kosong. Betapa terkejutnya mereka saat melihat sebuah makam yang bersih dan indah.

“Hai, makam siapakah yang indah ini?” tanya salah seorang serdadu Belanda.

“Entahlah. Tapi, saya yakin penghuni makam ini pasti bukanlah orang sembarangan,” jawab serdadu Belanda lainnya.

Penasaran ingin mengetahui perihal makam itu, salah seorang serdadu Belanda mencari keterangan kepada warga di sekitar istana.

“Makam siapakah yang ada di dekat istana itu?” tanya serdadu itu kepada salah seorang warga.

“Makam itu adalah milik seorang putri yang ayu bernama Nyi Mas Rahima, permaisuri Sultan Muhammad. Ayu fisiknya, juga ayu batinnya. Ia selalu mendukung perjuangan suaminya dengan tulus ikhlas dan rela mengorbankan kebahagiaannya berkumpul bersama keluarganya,” jelas warga itu.

Sejak itulah, para serdadu Belanda menyebut makam itu dengan sebutan Makam Putri Ayu. Hingga kini, keindahan dan kebersihan Makam Putri Ayu masih tetap terjaga. Makam itu dikelilingi tembok berwarna kuning dan beratapkan seng. Batu nisannya terbuat dari kayu bulian berwarna merah tua dan makamnya sendiri terbuat dari marmer berwarna biru. Dulu, makam Makam Putri Ayu berada di kawasan Benteng atau berdekatan dengan Masjid Al Falah Kota Jambi. Pada tahun 1980, makam itu dipindahkan ke Jalan Kemboja, RT 07, Kelurahan Sungaiputri, Telanaipura, Kota Jambi.

* * *

Demikian cerita Putri Ayu Nyi Mas Rahima dari daerah Jambi. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan cinta tanah air sebagaimana yang ditunjukkan oleh perjuangan Nyi Mas Rahima dalam mendukung sang suami melawan penjajah Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...