Suatu hari, Nasruddin Hoja berjalan-jalan menyusuri kota untuk memenuhi hasrat dan hobinya. Hari itu, suasana hatinya senyaman suasana setiap sudut kota yang ia liat. Tapi setibanya di suatu tempat, tiba-tiba dari arah belakang seseorang bergegas menghampiri dirinya dan langsung mendaratkan satu tamparan tepat di pipi kirinya. “Plak!!!”
“Aduh,” teriak Nasruddin kesakitan. Kontan ia marah mendapatkan perlakuan kasar yang begitu tiba-tiba. Apalagi orang yang menempelengnya sama sekali tidak ia kenal. “Hei! Apa salah saya sehingga harus menerima tempelengan sekeras ini?”
“Aduh. Maafkan saya. Saya kira Anda teman akrab saya yang sudah lama tidak saya jumpai,” kata lelaki setengah baya itu.
“Akrab sih akrab. Tapi jangan seenaknya menampar orang gitu donk,” sahut Nasruddin cemberut. Tangannya masih mengusap-usap pipinya yang merah.
Meskipun sudah mengakui kesalahannya, Nasruddin tidak mau menerima permohonan maaf pria asing itu begitu saja. Hatinya sudah terlalu mangkel. Namun demikian, ia sadar tidak mungkin bisa membalaskan sakit hatinya dengan menampar pipi orang di hadapannya ini, sekalipun dengan alasan qisas.
Bisa-bisa nanti malah saya yang terkena sanksi dari aparat penegak hukum, pikirnya. Oleh karena itu, demi mendapatkan keadilan, ia memilih menempuh jalur hukum alias mengadukan lelaki separuh baya itu ke pengadilan.
“Assalamu’alaikum,” ucap Nasruddin sesampai di Kantor Pengadilan. “Saya ingin melaporkan sebuah persoalan,” lanjutnya begitu berada di hadapan hakim.
Nasruddin lalu menjelaskan akar perkara mulai dari A sampai Z sesuai fakta apa adanya, tanpa dibumbui alias ditambah-tambahi. Sebagai penutup, Nasruddin menandaskan bahwa ia meminta sebuah keadilan atas kedzaliman yang telah dilakukan orang itu.
Tapi rupanya si hakim adalah sohib alias teman si penampar Nasruddin Hoja. Akibatnya, hakim itu berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara. Si penampar dibebaskan dari segala tuntutan. Karuan saja Nasruddin protes atas keputusan pengadilan yang menurutnya tidak adil.“Aduh,” teriak Nasruddin kesakitan. Kontan ia marah mendapatkan perlakuan kasar yang begitu tiba-tiba. Apalagi orang yang menempelengnya sama sekali tidak ia kenal. “Hei! Apa salah saya sehingga harus menerima tempelengan sekeras ini?”
“Aduh. Maafkan saya. Saya kira Anda teman akrab saya yang sudah lama tidak saya jumpai,” kata lelaki setengah baya itu.
“Akrab sih akrab. Tapi jangan seenaknya menampar orang gitu donk,” sahut Nasruddin cemberut. Tangannya masih mengusap-usap pipinya yang merah.
Meskipun sudah mengakui kesalahannya, Nasruddin tidak mau menerima permohonan maaf pria asing itu begitu saja. Hatinya sudah terlalu mangkel. Namun demikian, ia sadar tidak mungkin bisa membalaskan sakit hatinya dengan menampar pipi orang di hadapannya ini, sekalipun dengan alasan qisas.
Bisa-bisa nanti malah saya yang terkena sanksi dari aparat penegak hukum, pikirnya. Oleh karena itu, demi mendapatkan keadilan, ia memilih menempuh jalur hukum alias mengadukan lelaki separuh baya itu ke pengadilan.
“Assalamu’alaikum,” ucap Nasruddin sesampai di Kantor Pengadilan. “Saya ingin melaporkan sebuah persoalan,” lanjutnya begitu berada di hadapan hakim.
Nasruddin lalu menjelaskan akar perkara mulai dari A sampai Z sesuai fakta apa adanya, tanpa dibumbui alias ditambah-tambahi. Sebagai penutup, Nasruddin menandaskan bahwa ia meminta sebuah keadilan atas kedzaliman yang telah dilakukan orang itu.
Dia memaparkan kembali aniaya yang ia terima dan betapa sakit hatinya mendapatkan perlakuan seperti itu. Tapi si hakim malah menyalahkan dirinya. Akhirnya, Nasruddin membentak pak hakim dan melancarkan protes keras atas ketidakadilan tersebut.
Akibat protes keras itu si hakim akhirnya membatalkan keputusan pertamanya dengan keputusan yang baru. Si hakim berkata kepada si penampar, “Baiklah kalo begitu. Sekarang aku tetapkan agar kamu memberi ganti rugi 10 dirham tunai kepada Nasruddin. Pergi dan ambillah uang 10 dirham dan berikan uang itu kepadanya.”
Setelah itu si penampar pergi meninggalkan ruang sidang. Nasruddin berjam-jam menunggu si lelaki untuk mendapatkan ganti rugi tapi rupanya yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. AKhirnya, sadarlah Nasruddin bahwa dia telah ditipu oleh lelaki tadi dengan bantuan rekayasa dari pak hakim yang membiarkannya pergi begitu saja.
Ketika melihat hakim tenang-tenang saja, bahkan pura-pura sibuk dengan pekerjaan lainnya, hati Nasruddin dongkol, panas, mangkel, dan kesal tidak karuan.
Tiba-tiba, “Plak!!!” Nasruddin menampar pipi si hakim seraya berkata, “Maaf pak hakim, aku sibuk sekali hari ini dan tidak punya waktu untuk menunggu lebih lama lagi. Tolong nanti terima ganti ruginya untuk Anda. Aku lagi tergeda-gesa nich.”
Selesai berkata begitu, Nasruddin melangkah pergi meninggalkan si hakim yang masih shock mendapatkan tamparan yang tak terduga tadi. Sementara pak hakim tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya menggosok-gosok pipinya yang terasa perih akibat ulah si Hoja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar