Dalam Eknsiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam diterangkan bahwa Abu Nawas sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan kondang, yang nafas-nafas kehidupannya ia habiskan di Istana Harun Al-Rasyid dengan segala kemewahannya. Dalam blantika sastra nusantara, ia tampil sebagai sosok yang jenaka, cerdas dan kaya dengan humor-humornya yang segar.
Abu Nawas, atas wasiat orang tuanya yang menjadi seorang penghulu, dipesan agar mencium telinga ayahnya apabila saat kematiannya tiba. Jika membersit bau harum yang menyenangkan, teruskanlah profesi orang tua sebagai penghulu. Tapi jika keluar bau busuk yang membuat orang muntah, maka jauhilah profesi itu untuk selama-lamanya. Ketika sang ayah wafat, bau busuklah yang keluar dari telinganya. Dengan itu Abu Nawas itupun enggan menjadi penghulu, biarpun Khalifah Harun Al-Rasyid memintanya.
Dalam cerita lain juga disebutkan bahwa nama lengkap Abu Nawas adalah Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia adalah seorang sastrawan istana, kelahiran di Ahwas, Iran, tahun 130 Hijriah/747 Masehi. Ibunya seorang wanita miskin yang bekerja sebagai tukang cuci kain wol yang terbuat dari bulu domba. Sedangkan ayahnya adalah seorang serdadu Dinasti Bani Umayyah pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad, Khalifah pemungkas pada Dinasti ini.
Karena lahir di Ahwas, Abu Nawas merasa dirinya lebih seorang Persia daripada seorang Arab. Padahal sebagian besar hidupnya berada di beberapa kota yang kental dengan kebudayaan Arab, Bashrah, Kufah dan Baghdad. Ia bahkan pernah tinggal ditengah-tengah masyarakat Badui di tengah lautan padang pasir dengan tujuan agar dia dapat merasakan nilai-nilai sastra Arab yang asli. Kepenyairannya sudah terlihat sejak usia dini berkat bimbingan seorang penyair berbakat, Waliban bin Al-Hubab dan Khulaf Al-Ahmar. Ia pun belajar Al-Qur’an dan Hadist secara tekun seperti lazimnya anak-anak pada masa itu.
Kepenyairannya telah mempengaruhi jalan hidupnya. Sungguh pun sejak kecil mendapat ganjaran agama yang baik, ternyata Abu Nawas tampil sebagai seorang penyair yang “hura-hura”. Ia salah seorang penganut faham hedonisme, yaitu faham yang lebih mengutamakan kesenangan dunia semata-mata. Lidahnya sering terpeleset. Tidak segan-segan Abu Nawas mempelesetkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dia pun, karena ulahnya itu pernah diajukan ke pengadilan, karena tuduhan menghina Al-Qur’an. Salah satu bait syair yang dinilai menghujat Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:Abu Nawas, atas wasiat orang tuanya yang menjadi seorang penghulu, dipesan agar mencium telinga ayahnya apabila saat kematiannya tiba. Jika membersit bau harum yang menyenangkan, teruskanlah profesi orang tua sebagai penghulu. Tapi jika keluar bau busuk yang membuat orang muntah, maka jauhilah profesi itu untuk selama-lamanya. Ketika sang ayah wafat, bau busuklah yang keluar dari telinganya. Dengan itu Abu Nawas itupun enggan menjadi penghulu, biarpun Khalifah Harun Al-Rasyid memintanya.
Dalam cerita lain juga disebutkan bahwa nama lengkap Abu Nawas adalah Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia adalah seorang sastrawan istana, kelahiran di Ahwas, Iran, tahun 130 Hijriah/747 Masehi. Ibunya seorang wanita miskin yang bekerja sebagai tukang cuci kain wol yang terbuat dari bulu domba. Sedangkan ayahnya adalah seorang serdadu Dinasti Bani Umayyah pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad, Khalifah pemungkas pada Dinasti ini.
Karena lahir di Ahwas, Abu Nawas merasa dirinya lebih seorang Persia daripada seorang Arab. Padahal sebagian besar hidupnya berada di beberapa kota yang kental dengan kebudayaan Arab, Bashrah, Kufah dan Baghdad. Ia bahkan pernah tinggal ditengah-tengah masyarakat Badui di tengah lautan padang pasir dengan tujuan agar dia dapat merasakan nilai-nilai sastra Arab yang asli. Kepenyairannya sudah terlihat sejak usia dini berkat bimbingan seorang penyair berbakat, Waliban bin Al-Hubab dan Khulaf Al-Ahmar. Ia pun belajar Al-Qur’an dan Hadist secara tekun seperti lazimnya anak-anak pada masa itu.
Biarlah mesjid-mesjid itu dipenuhi oleh orang yang shalat
Ayolah kita minum khamer sepuasnya
Tuhan pun tak pernah mengatakan “Neraka Wail bagi para pemabuk”
Tuhan hanya berfirman “Neraka wail bagi orang yang shalat”.
Dengan sikapnya yang keterlaluan itu menimbulkan kemarahan umat. Abu Nawas dipandang telah melecehkan agama dan akan dijatuhi hukuman mati. Beruntunglah pada saat itu khalifah yang berkuasa, Harun Al-Rasyid yang bijaksana memberi grasi pada Abu Nawas dan masih memberikan kesempatan taubat.
Abu Nawas termasuk seorang penyair yang bergajul, namun pada akhir hayatnya ia bertaubat dari segala dosa-dosanya. Ia mengaku secara tulus di hadapan Tuhan tentang dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Pengakuan tersebut disenandungkan lewat sebuah syair berikut:
“Oh, Tuhanku, aku tak layak menjadi penghuni surga
Abu Nawas termasuk seorang penyair yang bergajul, namun pada akhir hayatnya ia bertaubat dari segala dosa-dosanya. Ia mengaku secara tulus di hadapan Tuhan tentang dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Pengakuan tersebut disenandungkan lewat sebuah syair berikut:
“Oh, Tuhanku, aku tak layak menjadi penghuni surga
Tapi, aku tidak tahan di neraka jahim
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku,
Sebab Engkaulah Maha Pengampun dari dosa-dosa besar
Tuhan, dosaku bagaikan bilangan pasir
Berilah aku kesempatan taubat Wahai Yang Maha Agung
Sementara umurku selalu berkurang tiap hari,
Malah dosaku terus bertambah, bagaimana aku menanggungnya?
Tuhanku,
Tuhanku,
Hamba-Mu yang penuh dosa kini telah datang pada-Mu mengakui dosa-dosanya dan memanggil nama-Mu
Jika Engkau ampuni, dan Engkau berhak mengampuninya
Sekiranya Engkau tolak,
Siapa lagi yang kami harap selain Engkau?”
Itulah lantunan syair Abu Nawas dalam pengakuannya terhadap segenap dosa yang pernah dengan sengaja ia perbuat. Suatu pengakuan yang benar-benar keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Suatu penyesalan yang benar-benar tumbuh dari hati yang sadar akan kelalaiannya.
Dari lantunan syair Abu Nawas tersebut, satu pelajaran yang paling berharga yang dapat kita petik adalah bahwa suatu pertaubatan memang harus terlahir dari kedalaman hati yang telah benar-benar mengakui bahwa ia adalah sang pendosa, tak bisa luput darinya, yang secara sengaja maupun tidak telah melakukannya. Dari sini, maka dalam taubat unsur kesadaran harus dijadikan pondasi pertama. Bisa dilihat, dalam syair tersebut betapa seorang Abu Nawas telah sadar betul akan segala kekurangan, kejahatan dan keburukan dari segala perangai hidupnya. Dia sadar karena kondisi diri yang seperti itu, dia tidak pantas sama sekali untuk mendapatkan Firdaus sebagai balasan baik bagi orang-orang shalih. Dia sadar sepenuhnya bahwa banyaknya dosa yang dia lakukan, banyaknya keburukan yang ia sandang dan banyaknya kelalaian yang dilakukan tidak menjadikannya pantas menjadi ahli surga, yang walaupun jika Tuhan dengan segala kemurahan hati-Nya telah memasukkan dia kedalam taman harapan abadi tersebut.
Dan kalau kita mau sadar dengan sesungguhnya, tidak hanya seorang pendosa saja yang tidak pantas saja yang tidak pantas mendapatkan surga Allah itu, juga kita yang selama ini menganggap diri sebagai orang baik-baik tidak pantas mendapatkan tempat tersebut. Apa yang bisa kita banggakan dari diri kita, amal perbuatan dan keistimewaan kita sehingga kita yakin betul bahwa kita sangat pantas untuk menghuni surga? Apakah amal perbuatan kita? Sekali-kali tidak! Berapa banyak amal perbuatan kita yang itu bisa dijadikan ongkos masuk surga. Antara amal perbuatan manusia dengan kenikmatan yang akan diperoleh di dalam surga sesungguhnya tidak sebanding. Bahkan jika kita hitung, seandainya seumur hidup kita hanya melakukan peribadatan tersebut kita ukur dengan berapa banyak kenikmatan di akhirat kelak. Berapa banyak pahala shalat yang telah kita kumpulkan, sementara itu berapa banyak pula kenikmatan Allah yang diberikan secara cuma-cuma, bahkan tanpa diminta yang berupa udara yang setiap detik kita hirup. Berapa banyak telah kita kumpulkan pahala-pahala puasa, zakat, haji, bersedekah, berbuat baik terhadap orang lain, mengaji, mengajar dan berbakti kepada orang tua tapi betapa banyak pula karunia Allah yang telah kita peroleh yang berupa hidup dengan segenap fasilitasnya yang semuanya diperuntukkan buat kita. Sungguh itu tidaklah sebanding. Dan hal itu disadari sungguh oleh Abu Nawas. Dalam hati yang peling tulus dia mengakui betul bahwa dia bukanlah seorang hamba yang pantas menghuni tempat surga itu, yang walau dia mempunyai pahala sebanyak lautan dan sebesar pegunungan.
Suatu saat Nabi bersabda,”Kalian tidak masuk surga lantaran amal perbuatan kalian!”
“Tidak juga kau, Nabi?” tanya salah satu sahabat.
“Aku juga tidak, kecuali aku masuk surga dengan lantaran rahmat-Nya”.
Banyaknya pahala ternyata tidak bisa menghantarkan seorang hamba untuk bisa memasuki surga. Banyaknya pahala ternyata bukanlah satu-satunya jaminan yang bisa dibanggakan untuk mendapatkan kenikmatan surga. Lantas, pantaskah kita yang masih banyak bergaul dengan kamaksiatan dan selalu bergumul dengan kesalahan itu menduduki tempat yang dijanjikan oleh Allah untuk para kekasih-Nya itu?
Satu sisi Abu Nawas sangat menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang ideal untuk masuk surga, tetapi pada sisi yang lain pun ia sadar dengan sepenuhnya bahwa dia tidak kuat untuk menanggung bebas siksa yang akan dijalaninya di neraka. Satu kesadaran bahwa dia benar-benar banyak dosa dan satu pengakuan bahwa dia tidak akan kuasa menerima siksa. Lantas, apakah yang bisa dilakukan oleh seorang Abu Nawas dalam kondisi seperti itu?
Itulah lantunan syair Abu Nawas dalam pengakuannya terhadap segenap dosa yang pernah dengan sengaja ia perbuat. Suatu pengakuan yang benar-benar keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Suatu penyesalan yang benar-benar tumbuh dari hati yang sadar akan kelalaiannya.
Dari lantunan syair Abu Nawas tersebut, satu pelajaran yang paling berharga yang dapat kita petik adalah bahwa suatu pertaubatan memang harus terlahir dari kedalaman hati yang telah benar-benar mengakui bahwa ia adalah sang pendosa, tak bisa luput darinya, yang secara sengaja maupun tidak telah melakukannya. Dari sini, maka dalam taubat unsur kesadaran harus dijadikan pondasi pertama. Bisa dilihat, dalam syair tersebut betapa seorang Abu Nawas telah sadar betul akan segala kekurangan, kejahatan dan keburukan dari segala perangai hidupnya. Dia sadar karena kondisi diri yang seperti itu, dia tidak pantas sama sekali untuk mendapatkan Firdaus sebagai balasan baik bagi orang-orang shalih. Dia sadar sepenuhnya bahwa banyaknya dosa yang dia lakukan, banyaknya keburukan yang ia sandang dan banyaknya kelalaian yang dilakukan tidak menjadikannya pantas menjadi ahli surga, yang walaupun jika Tuhan dengan segala kemurahan hati-Nya telah memasukkan dia kedalam taman harapan abadi tersebut.
Dan kalau kita mau sadar dengan sesungguhnya, tidak hanya seorang pendosa saja yang tidak pantas saja yang tidak pantas mendapatkan surga Allah itu, juga kita yang selama ini menganggap diri sebagai orang baik-baik tidak pantas mendapatkan tempat tersebut. Apa yang bisa kita banggakan dari diri kita, amal perbuatan dan keistimewaan kita sehingga kita yakin betul bahwa kita sangat pantas untuk menghuni surga? Apakah amal perbuatan kita? Sekali-kali tidak! Berapa banyak amal perbuatan kita yang itu bisa dijadikan ongkos masuk surga. Antara amal perbuatan manusia dengan kenikmatan yang akan diperoleh di dalam surga sesungguhnya tidak sebanding. Bahkan jika kita hitung, seandainya seumur hidup kita hanya melakukan peribadatan tersebut kita ukur dengan berapa banyak kenikmatan di akhirat kelak. Berapa banyak pahala shalat yang telah kita kumpulkan, sementara itu berapa banyak pula kenikmatan Allah yang diberikan secara cuma-cuma, bahkan tanpa diminta yang berupa udara yang setiap detik kita hirup. Berapa banyak telah kita kumpulkan pahala-pahala puasa, zakat, haji, bersedekah, berbuat baik terhadap orang lain, mengaji, mengajar dan berbakti kepada orang tua tapi betapa banyak pula karunia Allah yang telah kita peroleh yang berupa hidup dengan segenap fasilitasnya yang semuanya diperuntukkan buat kita. Sungguh itu tidaklah sebanding. Dan hal itu disadari sungguh oleh Abu Nawas. Dalam hati yang peling tulus dia mengakui betul bahwa dia bukanlah seorang hamba yang pantas menghuni tempat surga itu, yang walau dia mempunyai pahala sebanyak lautan dan sebesar pegunungan.
Suatu saat Nabi bersabda,”Kalian tidak masuk surga lantaran amal perbuatan kalian!”
“Tidak juga kau, Nabi?” tanya salah satu sahabat.
“Aku juga tidak, kecuali aku masuk surga dengan lantaran rahmat-Nya”.
Banyaknya pahala ternyata tidak bisa menghantarkan seorang hamba untuk bisa memasuki surga. Banyaknya pahala ternyata bukanlah satu-satunya jaminan yang bisa dibanggakan untuk mendapatkan kenikmatan surga. Lantas, pantaskah kita yang masih banyak bergaul dengan kamaksiatan dan selalu bergumul dengan kesalahan itu menduduki tempat yang dijanjikan oleh Allah untuk para kekasih-Nya itu?
Satu sisi Abu Nawas sangat menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang ideal untuk masuk surga, tetapi pada sisi yang lain pun ia sadar dengan sepenuhnya bahwa dia tidak kuat untuk menanggung bebas siksa yang akan dijalaninya di neraka. Satu kesadaran bahwa dia benar-benar banyak dosa dan satu pengakuan bahwa dia tidak akan kuasa menerima siksa. Lantas, apakah yang bisa dilakukan oleh seorang Abu Nawas dalam kondisi seperti itu?
Taubat! Kembali ke jalan yang benar, menyesali dengan kesungguhan hati akan segenap dosa-dosa yang pernah ia perbuat, dan juga mengharap sangat akan kemurahan hati Allah untuk bisa mengampuni dosa-dosanya itu. Dan memang seperti itulah, dalam taubat ada suatu pengharapan besar akan kewelas-asihan Allah untuk bisa menerima taubatnya dan untuk bisa memberi maaf terhadap dosa-dosanya. Kepada siapa lagi sang pendosa mengharap pemberian ampun terhadap dosa-dosanya selain kepada Allah, Sang Maha Pengampun. Kepada siapa lagi sang durjana itu mengharap belas kasih untuk menghapuskan dosa-dosanya kecuali kepada Allah, Sang Maha Pengasih?
Dosa sebesar, seberat, setinggi, seluas dan setumpuk apapun, selagi seorang hamba mau dengan tulus ikhlas dan niat benar-benar bertaubat kepada Allah, pasti Allah akan menerima taubat seorang hamba tersebut. Bahkan seandainya dosa yang telah dimiliki oleh seorang hamba itu sudah tidak bisa lagi dihitung dengan bilangan, tidak bisa diukur dengan tinggi dan lebar, atau tidak bisa lagi diimbangi dengan ukuran berat badan, selagi dia dengan sungguh-sungguh datang dan menghadap kepada Allah dengan membawa sejuta penyesalan dan beri’tikad untuk benar-benar taubat pasti Allah akan menerima pertaubatan seorang hamba tersebut. Allah adalah Maha Pengampun. Dia Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Sekali-kali Dia tidak pernah menutup apalagi mengunci pintu maafnya bagi orang-orang yang benar-benar ingin mengetuknya.
Abu Nawas, lewat lantunan syairnya itu adlah sebuah gambaran dari seorang hamba yang sadar akan banyaknya dosa yang ia miliki. Dosa yang ia pikul dan ia sandang seumpama bilangan butirran-butiran pasir di lautan, sebuah perumpamaan hitungan bilangan yang tak mungkin untuk dihitung dan tak mungkin diketahui jumlah hitungannya. Berapa banyak butiran pasir di lautan itu jika dihitung? Entah, tidak tahu. Abu Nawas tidak tahu lagi berapa banyak dosa yag telah dia tumpuk. Seberat apa dosa yang telah dia pikul. Seluas apakah dosa yang telah dia hamparkan. Setinggi apakah dosa yang telah dia junjung. Entah, tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia adalah seorang hamba Allah yang karena kesombongan dan kelalaiannya telah melakukan dosa yang begitu banyak. Yang dia tahu hanyalah dia kini seorang yang hina, datang mengetuk pintu Allah dan mengharap ampunan dari-Nya. Abu Nawas tahu, bahwa dosa yang kini dia miliki itu adalh sebuah dosa kepada manusia, pastilah manusia tersebut tidak akan pernah memaafkan dosanya itu. Tetapi akankah Allah seperti manusia yang tidak mau membukakan pintu maafnya kepada seorang dengan segenap penyesalannya, bersimbah tangis, bersujud mengharapkan ampunan akan dosa-dosanya itu?
Penyesalan sering kali menjadikan seorang manusia berlinangan air mata, sebab penyesalan selalu jatuh di kemudian hari. Dalam penyesalan ada kesadaran. Dan seperti itulah seorang Abu Nawas yang menyesal telah sadar bahwa tiap detik yang berlalu dari hidupnya, lambat laun dan berlahan-lahan namun pasti,secara sedikit demi sedikit telah menggerogoti usianya. Ibarat sebuah perjalanan panjang, semakin hari dia tidak semakin jauh dari tempat tujuan, tetapi semakin hari dia semaki dekat dengan tempat tujuannya. Kemanakah tempat akhir dari tujuan perjalanan hidup itu kalau tidak ada kemetian?
Abu nawas sadar bahwa hari demi hari telah menjadikan dia semakin dekat dengan kematian. Semakin hari dia semakin dekat dengan tempat tujuan akhir dari perjalanan hidupnya. Tetapi, semakin jauh dia melangkah mendekati tempat tujuan akhir perjalanan tersebut, ternyata semakin banyak pula telapak-telapak dosa yang dia tinggalkan. Umurnya semakin berkurang setiap hari, sementara dosanya semakin bertambah setiap detik. Bagaimanakah dia harus menanggung beban dosanya kelak di hari Kiamat?
Oh Tuhan, sepenuhnya aku sadar akan banyaknya dosaku. Aku adalah seorang hamba pendosa, seorang hamba laknat yang durjana dipenuhi lumpur-lumpur dosa, kini telah datang dengan perasaan malu tak terkira. Aku datang pada-Mu dengan memikul berat beban dosa yang membuatku terseok-seok dalam perjalanan menuju tempat-Mu. Aku datang pada-Mu dengan keadaan diri masih kotor, dengan segenap jiwa yang masih belum bersih dan dengan roh dimana nafas-nafasnya sekali menghembuskan bau busuk dosa. Aku datang pada-Mu bersama simbahan air mata yang walau dengan itu Kau tak percaya. Aku datang bersama jeritan hati yang selalu meronta-ronta di pagi hari. Aku yang memanggil-manggil nama-Mu di sore hari, yang selalu melantunkan jeritan-jeritan penyesalan di malam hari. Aku datang pada-Mu, tuhan dengan sebuah sujud sebagai ras hinakupada-Mu. Aku datang pada-Mu dengan hamparan sajadah yang mungkin dengan itu bisamenerbangkan aku ke tempat-Mu. Aku datang pada-Mu dengan membawa butiran-butiran biji tasbih yang dengan itu aku sebut nama-Mu.
Aku datang pada-Mu, Tuhan. Mengetuk pintu maaf-Mu dan mengharapkan pengkabulan pertaubatanku. Tuhan, sekiranya engkau tidak mau membukakan pintu maaf-Mu, dan sekiranya Engkau tidak sudi menerima pertaubatanku, kepada siapa lagi hamba-Mu yang hina ini nanti menggantungkan harapannya?
Dosa sebesar, seberat, setinggi, seluas dan setumpuk apapun, selagi seorang hamba mau dengan tulus ikhlas dan niat benar-benar bertaubat kepada Allah, pasti Allah akan menerima taubat seorang hamba tersebut. Bahkan seandainya dosa yang telah dimiliki oleh seorang hamba itu sudah tidak bisa lagi dihitung dengan bilangan, tidak bisa diukur dengan tinggi dan lebar, atau tidak bisa lagi diimbangi dengan ukuran berat badan, selagi dia dengan sungguh-sungguh datang dan menghadap kepada Allah dengan membawa sejuta penyesalan dan beri’tikad untuk benar-benar taubat pasti Allah akan menerima pertaubatan seorang hamba tersebut. Allah adalah Maha Pengampun. Dia Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Sekali-kali Dia tidak pernah menutup apalagi mengunci pintu maafnya bagi orang-orang yang benar-benar ingin mengetuknya.
Abu Nawas, lewat lantunan syairnya itu adlah sebuah gambaran dari seorang hamba yang sadar akan banyaknya dosa yang ia miliki. Dosa yang ia pikul dan ia sandang seumpama bilangan butirran-butiran pasir di lautan, sebuah perumpamaan hitungan bilangan yang tak mungkin untuk dihitung dan tak mungkin diketahui jumlah hitungannya. Berapa banyak butiran pasir di lautan itu jika dihitung? Entah, tidak tahu. Abu Nawas tidak tahu lagi berapa banyak dosa yag telah dia tumpuk. Seberat apa dosa yang telah dia pikul. Seluas apakah dosa yang telah dia hamparkan. Setinggi apakah dosa yang telah dia junjung. Entah, tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia adalah seorang hamba Allah yang karena kesombongan dan kelalaiannya telah melakukan dosa yang begitu banyak. Yang dia tahu hanyalah dia kini seorang yang hina, datang mengetuk pintu Allah dan mengharap ampunan dari-Nya. Abu Nawas tahu, bahwa dosa yang kini dia miliki itu adalh sebuah dosa kepada manusia, pastilah manusia tersebut tidak akan pernah memaafkan dosanya itu. Tetapi akankah Allah seperti manusia yang tidak mau membukakan pintu maafnya kepada seorang dengan segenap penyesalannya, bersimbah tangis, bersujud mengharapkan ampunan akan dosa-dosanya itu?
Penyesalan sering kali menjadikan seorang manusia berlinangan air mata, sebab penyesalan selalu jatuh di kemudian hari. Dalam penyesalan ada kesadaran. Dan seperti itulah seorang Abu Nawas yang menyesal telah sadar bahwa tiap detik yang berlalu dari hidupnya, lambat laun dan berlahan-lahan namun pasti,secara sedikit demi sedikit telah menggerogoti usianya. Ibarat sebuah perjalanan panjang, semakin hari dia tidak semakin jauh dari tempat tujuan, tetapi semakin hari dia semaki dekat dengan tempat tujuannya. Kemanakah tempat akhir dari tujuan perjalanan hidup itu kalau tidak ada kemetian?
Abu nawas sadar bahwa hari demi hari telah menjadikan dia semakin dekat dengan kematian. Semakin hari dia semakin dekat dengan tempat tujuan akhir dari perjalanan hidupnya. Tetapi, semakin jauh dia melangkah mendekati tempat tujuan akhir perjalanan tersebut, ternyata semakin banyak pula telapak-telapak dosa yang dia tinggalkan. Umurnya semakin berkurang setiap hari, sementara dosanya semakin bertambah setiap detik. Bagaimanakah dia harus menanggung beban dosanya kelak di hari Kiamat?
Oh Tuhan, sepenuhnya aku sadar akan banyaknya dosaku. Aku adalah seorang hamba pendosa, seorang hamba laknat yang durjana dipenuhi lumpur-lumpur dosa, kini telah datang dengan perasaan malu tak terkira. Aku datang pada-Mu dengan memikul berat beban dosa yang membuatku terseok-seok dalam perjalanan menuju tempat-Mu. Aku datang pada-Mu dengan keadaan diri masih kotor, dengan segenap jiwa yang masih belum bersih dan dengan roh dimana nafas-nafasnya sekali menghembuskan bau busuk dosa. Aku datang pada-Mu bersama simbahan air mata yang walau dengan itu Kau tak percaya. Aku datang bersama jeritan hati yang selalu meronta-ronta di pagi hari. Aku yang memanggil-manggil nama-Mu di sore hari, yang selalu melantunkan jeritan-jeritan penyesalan di malam hari. Aku datang pada-Mu, tuhan dengan sebuah sujud sebagai ras hinakupada-Mu. Aku datang pada-Mu dengan hamparan sajadah yang mungkin dengan itu bisamenerbangkan aku ke tempat-Mu. Aku datang pada-Mu dengan membawa butiran-butiran biji tasbih yang dengan itu aku sebut nama-Mu.
Aku datang pada-Mu, Tuhan. Mengetuk pintu maaf-Mu dan mengharapkan pengkabulan pertaubatanku. Tuhan, sekiranya engkau tidak mau membukakan pintu maaf-Mu, dan sekiranya Engkau tidak sudi menerima pertaubatanku, kepada siapa lagi hamba-Mu yang hina ini nanti menggantungkan harapannya?
Sumber : Jalan Menuju Makrifatullah Dengan Tahapan (7M), Karya Ust. Asrifin S.Ag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar