Si Kepar (Aceh - Indonesia)


Nanggroe Aceh Darussalam termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di ujung paling Barat Pulau Sumatera. Selain terkenal sebagai “Serambi Mekah”, provinsi ini juga terkenal dengan kanekaragaman suku-bangsanya. Salah satu di antaranya adalah suku-bangsa Alas, yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara. Menurut sejarah, suku-bangsa Alas merupakan pecahan dari suku-bangsa Gayo, karena nenek moyang mereka berasal dari Kabupaten Gayo Lues. Oleh karena itu, kedua suku-bangsa ini seringkali disatukan menjadi suku-bangsa Gayo-Alas. Menurut pendapat sebagian ahli, kata “Alas” berasal dari bahasa Gayo yang berarti “tikar”. Pemberian nama ini dikaitkan dengan keadaan wilayah pemukiman orang Alas yang terbentang luas seperti tikar terkembang di sela-sela Bukit Barisan.

Pendapat lain mengatakan bahwa orang Alas berasal dari daerah Singkil, Kabupaten Aceh Selatan, yang ditandai dengan adanya tari Alas di daerah itu. Dalam bahasa Singkil, “Alas” diartikan sebagai “muqaddimah” atau “pembukaan”. Alasan lainnya, bahasa dan beberapa nama mergo (marga) yang dipakai orang Alas mirip dengan bahasa atau mergo yang dipergunakan oleh penduduk Kluet Utara dan Hulu Singkil.

Namun, jika dilihat dari segi bahasa dan budaya, suku-bangsa Alas berbeda dengan suku-bangsa Gayo dan Singkil. Suku-bangsa Alas mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Alas, walaupun bahasa ini telah dipengaruhi oleh bahasa dari kedua suku-bangsa tersebut. Demikian pula dari segi budaya, orang Alas juga memiliki budaya sendiri, seperti permainan rakyat, upacara tradisional maupun cerita-cerita rakyatnya.

Dalam masyarakat Alas terdapat banyak cerita rakyat, baik yang tersebar di kalangan anak-anak, remaja maupun orang tua. Salah satu cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan anak-anak dan remaja di daerah ini yaitu Si Kepar. Cerita ini mengisahkan tentang perjuangan seorang anak remaja yang bernama si Kepar dalam menyatukan kembali kedua orang tuanya telah lama bercerai. Munculnya keinginan si Kepar tersebut, karena ia sering diejek oleh teman sepermainannya sebagai jazah (anak tak berayah). Untuk menyatukan kedua orang tuanya yang telah lama bercarai itu, bukanlah hal yang mudah. Usaha apa yang dilakukan si Kepar untuk menyatukan kedua orang tuanya? Berhasilkah usahanya tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Si Kepar berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Kapupaten Aceh Tenggara, hiduplah seorang janda bersama dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Si Kepar. Ayah dan ibu si Kepar bercerai sejak si Kepar masih berusia satu tahun, sehingga ia tidak mengenal sosok ayahnya. Sebagai anak yatim, Si Kepar sering diejek oleh teman-teman sepermainannya sebagai jazah (anak tak berayah). Oleh karena itu, Si Kepar ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya.

Pada suatu hari, Si Kepar pun menanyakan hal itu kepada ibunya. Pada awalnya, ibunya enggan menceritakan siapa dan di mana ayah Si Kepar. Namun, akhirnya diceritakan juga setelah Si Kepar mengancam akan bunuh diri jika tidak diceritakan. Setelah jelas siapa dan di mana ayahnya, Si Kepar pun berniat untuk menemui ayahnya di atas sebuah gunung yang sangat jauh.

Setelah berpamitan pada ibunya, Si Kepar pun berangkat untuk menemui ayahnya dengan perbekalan secukupnya. Ia berjalan sendiri melawati hutan belantara, menyeberangi sungai dan mendaki gunung. Akhirnya, sampailah ia pada tempat yang dimaksud ibunya. Dari kejauhan, tampaklah seorang laki-laki setengah baya yang sedang menyiangi rumput di tengah-tengah ladangnya. Si Kepar pun segera menghampiri dan menyapanya.

“Selamat siang, Pak!”.

“Siang juga, Nak!” jawab Bapak itu.

“Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya pula Bapak itu.

“Saya Si Kepar. Berasal dari Tanah Alas,” jawab Si Kepar.

“Tanah Alas?” ucap Bapak itu. Ia tersentak kaget mendengar jawaban Si Kepar.

“Kenapa Bapak kaget mendengar nama itu?” tanya Si Kepar.

“Oh tidak, Nak! Tidak ada apa-apa,” jawab Bapak itu.

“Apa yang membawa kamu ke sini, Par?” tanya balik bapak itu.

Si Kepar pun menceritakan maksud kedatanganya, namun ia tidak menceritakan kalau ibunya masih hidup. Setelah mendengar cerita si Kepar, tahulah Bapak itu bahwa Si Kepar adalah anaknya.

Sejak itu, Si Kepar mulai silih berganti tinggal bersama ayah atau ibunya. Dalam seminggu, terkadang Si Kepar tidur tiga malam di tempat ayahnya, baru kembali ke tempat ibunya. Si Kepar tidak pernah menceritakan kepada ibunya kalau ia tidur di tempat ayahnya. Bahkan, ia mengatakan kepada ibunya, bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Semua hal ini dilakukan oleh Si Kepar, karena ia ingin kedua orang tuanya menyatu kembali agar tidak lagi diejek oleh teman-temannya sebagai jazah.

Segala daya dan upaya dilakukannya agar keinginannya dapat tercapai, walaupun ia harus berbohong kepada kedua orang tuanya. Setelah berdoa sehari-semalam, Si Kepar mendapat petunjuk dari Yang Mahakuasa. Petunjuk itu adalah menyatakan kehendaknya kepada ibunya untuk memiliki ayah tiri. Harapan ini juga disampaikan kepada ayahnya untuk memiliki ibu tiri. Pada suatu malam, Si Kepar menyampaikan harapannya itu kepada ibunya.

“Bu, sebenarnya Kepar kasihan melihat ibu yang setiap hari bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita. Jika ibu ingin menikah lagi, Kepar tidak keberatan memiliki ayah tiri.” Mendengar perkataan Kepar itu, ibunya termenung sejenak, lalu berkata, “Benarkah kamu tidak keberatan, Par?”

“Tidak, Bu! Kepar sangat senang jika memiliki ayah lagi, agar teman-teman Kepar tidak akan lagi mengejek Kepar sebagai jazah,” Kepar menjelaskan alasan sebenarnya ingin memiliki ayah lagi.

“Tapi..., siapa lagi yang mau menikah dengan ibu yang sudah tua ini,” kata ibu Kepar merendah.

“Ibu tidak perlu khawatir. Serahkan saja masalah itu kepada Kepar,” jawab Kepar dengan perasaan lega, karena jawaban ibunya menandakan bersedia menikah lagi.

Keesokan harinya, Kepar kemudian pergi ke gunung menemui ayahnya untuk menyampaikan harapan yang sama.

“Ayah! Bolehkah Kepar meminta sesuatu kepada, Ayah?” tanya Kepar kepada ayahnya.

“Apakah itu, Anakku!” jawab ayah Kepar penasaran.

“Sebenarnya Kepar merasa kasihan melihat ayah yang setiap hari harus bekerja di ladang dan memasak sendiri. Jika ayah tidak keberatan, Kepar akan mencarikan seorang perempuan yang pantas untuk mendampingi ayah,” kata Kepar kepada ayahnya.

“Siapa lagi yang mau dengan ayah yang sudah tua ini?” jawab ayah Kepar tersenyum.

“Tenang, Ayah! Masih banyak janda-janda yang sebaya dan pantas untuk ayah di Tanah Alas,” kata Kepar kepada ayahnya memberi harapan.

“Ah, yang benar saja, Par!” jawab ayah Kepar dengan santainya.

Mendengar jawaban itu, Kepar pun tahu kalau ayahnya bersedia menikah lagi. Akhirnya, kedua orang tuanya menyetujui harapan Si Kepar. Namun, mereka belum mengetahui siapa jodohnya yang oleh mereka sama-sama telah menyerahkan masalah itu kepada Si Kepar.

Setelah itu, Kepar pun mulai mengatur taktik dan strategi untuk mempertemukan kedua orang tuanya yang semula beranggapan bahwa pasangan mereka sudah meninggal sebagaimana keterangan Si Kepar. Si Kepar mempertemukan mereka di sebuah dusun yang berada di lereng gunung, tidak jauh dari tempat tinggal ayahnya. Pertemuan ini tidak dilakukan di Tanah Alas, agar ayahnya tidak teringat dengan tempat itu, dimana dulu ia pernah tinggal di sana selama puluhan tahun.

Akhirnya, berkat usaha Kepar, kedua orang tuanya bersatu kembali. Mereka berdua hidup harmonis seperti sedia kala. Melihat keadaan itu, kini saatnya Si Kepar menceritakan keadaan yang sebenarnya, bahwa perempuan yang dinikahi ayahnya itu adalah istrinya sendiri yang dulu pernah ia nikahi. Demikian sebaliknya, laki-laki yang menikahi ibunya itu adalah suaminya sendiri yang dulu pernah menikahinya. Setelah mendengar keterangan dari Si Kepar tersebut, tahulah keduanya (ayah dan ibu Kepar) keadaan yang sebenarnya. Meskipun keduanya telah dibohongi oleh anaknya, keduanya tidak marah. Keduanya saling memaafkan atas kesalahan masing-masing yang menyebabkan mereka bercerai. Mereka juga berterima kasih kepada Si Kepar, karena telah menyatukan mereka kembali. Si Kepar pun sangat senang menyambut kehadiran ayahnya di tengah-tengah keluarganya. Akhirnya, mereka bertiga hidup dalam sebuah keluarga yang rukun, damai dan penuh kebahagiaan. Sejak itu pula, Si Kepar tidak pernah lagi diejek oleh teman-temannya sebagai jazah.

* * *

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang di dalamnya mengandung pesan-pesan moral. Adapun pesan-pesan moral tersebut, yaitu: berbohong demi kebajikan dan saling memaafkan. Pertama, berbohong demi kebajikan. Dalam agama pun, berbohong itu adalah perbuatan dosa, karena dapat merugikan orang lain. Memang, banyak alasan yang menyebabkan seseorang berbohong, misalnya takut akan konsekuensi jika ia berkata jujur, adanya desakan dari orang di sekitarnya (misalnya, jika ia berkata jujur nyawanya terancam), dan sebagainya. Lalu, bagaimana jika berbohong demi kebaikan? Dalam hal ini, terkadang tindakan itu bisa benar, tapi terkadang bisa pula salah. Bisa benar jika berkata jujur akan menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak mengenakkan, dan bisa salah apabila tidak demikian adanya.

Berkata jujur memang terkadang menyakitkan, apalagi jika berhadapan dengan orang yang tidak menerima kejujuran, sehingga terkadang seseorang lebih memilih berbohong dari pada berkata jujur. Akan tetapi, adapula yang menyiasatinya dengan berbicara bohong dulu dan baru berani jujur ketika situasinya sudah memungkinkan. Seperti yang dilakukan Si Kepar dalam cerita di atas, ia memilih berbohong dulu, dan baru berkata jujur setelah kedua orang tuanya hidup harmonis. Sekiranya Si Kepar berkata jujur kepada kedua orang tuanya dari awal, barangkali mereka tidak akan bersatu kembali.

Namun sayangnya, berbohong demi kebaikan ini terkadang hanya dijadikan sebagai alasan oleh orang-orang yang ingin menghindari kesalahannya. Padahal kalaupun ia berkata jujur pada saat itu, tidak akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.

Kedua, sifat saling memaafkan. Sifat ini tercermin pada sifat kedua orang tua Si Kepar yang mau memaafkan kesalahan masing-masing, sehingga mereka mau bersatu menjadi sebuah keluarga yang harmonis. Sifat ini sangat patut untuk dijadikan sebagai suri teladan, karena termasuk sifat yang terpuji dan sangat dimuliakan dalam kehidupan orang Melayu. Terkait dengan hal ini, orang tua-tua Melayu mengungkapkan dalam untaian pantun seperti berikut:

wahai ananda permata intan,
kesalahan orang cepat maafkan
hati pemurah meringankan beban
semoga Allah melapangkan jalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...