Si Gulap adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara yang tinggal di sebuah desa di daerah Bengkulu. Suatu ketika, si Gulap dan keenam saudaranya bergantian melamar seorang putri raja karena mereka ingin hidup sejahtera. Namun, lamaran si Sulung hingga saudara yang keenam ditolak karena tidak mampu memenuhi syarat yang diajukan oleh sang Raja. Bagaimana dengan si Gulap? Berhasilkah ia menikahi putri raja itu? Simak kisahnya dalam cerita Si Gulap yang Sabar berikut ini!
* * *
Dahulu, di daerah Lampung, hiduplah seorang janda bersama tujuh orang anak laki-lakinya. Anak sulungnya bernama Umar, sedangkan anak bungsunya bernama si Gulap. Sehari-hari keluarga janda itu bekerja di ladang dengan menanam singkong dan sayur-sayuran. Hasilnya pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena ladang yang mereka miliki sangat sempit. Keadaan tersebut membuat Umar sering duduk termenung seorang diri. Hatinya gundah gulana memikirkan nasib ibu dan adik-adiknya.
Suatu hari, sepulang dari ladang, Umar duduk menyendiri di bawah pohon di samping rumah.
“Ya, Tuhan. Apakah hidup kami akan terus kekurangan begini?” keluh Umar.
Baru saja Umar selesai bergumam, tiba-tiba ibunya datang menghampiri.
“Umar, anakku. Ibu lihat akhir-akhir ini kamu sering termenung. Ada apa, Nak?” tanya ibunya.
“Umar sedih melihat Ibu dan adik-adik,” jawab Umar, “Umar ingin mengubah nasib kita, Bu.”
“Lalu, apa rencanamu, Anakku?” tanya ibunya.
Umar tidak langsung menjawab pertanyaan perempuan yang telah melahirkannya itu. Sejenak, ia menghela nafas panjang.
* * *
Dahulu, di daerah Lampung, hiduplah seorang janda bersama tujuh orang anak laki-lakinya. Anak sulungnya bernama Umar, sedangkan anak bungsunya bernama si Gulap. Sehari-hari keluarga janda itu bekerja di ladang dengan menanam singkong dan sayur-sayuran. Hasilnya pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena ladang yang mereka miliki sangat sempit. Keadaan tersebut membuat Umar sering duduk termenung seorang diri. Hatinya gundah gulana memikirkan nasib ibu dan adik-adiknya.
Suatu hari, sepulang dari ladang, Umar duduk menyendiri di bawah pohon di samping rumah.
“Ya, Tuhan. Apakah hidup kami akan terus kekurangan begini?” keluh Umar.
Baru saja Umar selesai bergumam, tiba-tiba ibunya datang menghampiri.
“Umar, anakku. Ibu lihat akhir-akhir ini kamu sering termenung. Ada apa, Nak?” tanya ibunya.
“Umar sedih melihat Ibu dan adik-adik,” jawab Umar, “Umar ingin mengubah nasib kita, Bu.”
“Lalu, apa rencanamu, Anakku?” tanya ibunya.
Umar tidak langsung menjawab pertanyaan perempuan yang telah melahirkannya itu. Sejenak, ia menghela nafas panjang.
“Umar juga masih bingung, Bu. Tapi, Umar harus mencari akal untuk bisa memperbaiki nasib keluarga kita,” kata Umar.
“Baiklah, Anakku. Tapi, jangan sampai memikirkan hal itu lalu kamu lupa makan dan istirahat,” pesan ibunya seraya beranjak dari tempat itu.
‘Iya, Bu,” jawab Umar.
Hari sudah sore, Umar masih saja duduk termenung. Ia masih berpikir bagaimana cara bisa mensejahterakan keluarganya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di pikirannya.
“Hmmm… Jika aku bisa menikahi putri raja yang kaya raya itu, nasib keluargaku pasti akan membaik,” gumamnya, “Ya, hanya itu satu-satu jalan yang dapat kulakukan.”
Rupanya, Umar benar-benar berniat ingin melamar putri sang Raja. Malam harinya, ia pun menyampaikan niat itu kepada ibunya.
“Bu, tolong lamarkan sang Putri untukku,” pinta Umar.
Ibunya yang sedang menganyam tikar tersentak mendengar permintaan Umar.
“Sadarkah kamu dengan perkataanmu itu, Anakku?” tanya ibunya dengan terkejut, “Kita ini orang miskin, tidak pantas meminang seorang putri.”
“Umar menyadari itu, Bu. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita mencobanya dulu,” jawab Umar.
Meskipun sang Ibu berkali-kali menasehatinya, Umar tetap bersikeras ingin melamar putri raja. Maka dengan berat hati, sang Ibu pun memberanikan diri menghadap sang Raja pada esok harinya. Setiba di istana, perempuan paruh baya itu memberikan sembah hormat kepada sang Raja.
“Mohon ampun Baginda atas kelancangan hamba. Hamba datang menghadap untuk menyampaikan lamaran Umar anak hamba,” lapor ibu Umar.
Sang Raja tahu jika Umar yang akan menjadi menantunya itu berasal dari rakyat biasa. Sebagai seorang raja, tentu ia tidak ingin kewibawaan keluarga kerajaan tercoreng karena memiliki menantu dari kalangan orang biasa. Untuk itulah, ia harus memberikan syarat kepada Umar sebelum menerima lamarannya.
“Baiklah, lamaran Umar aku terima tapi dengan satu syarat,” kata sang Raja.
“Ampun, Baginda. Apakah syarat itu?” tanya ibu Umar.
“Sebelum pernikahan ini dilangsungkan, Umar harus tinggal di istana dalam waktu beberapa hari untuk mengikuti beberapa ujian. Selama tinggal di istana, ia tidak boleh marah sekali saja dengan tugas apa pun yang kuberikan. Jika ia melanggarnya, maka ia akan kujual sebagai budak ke negeri lain. Sebaliknya, jika aku yang marah karena perbuatan Umar, maka akulah yang harus dijual sebagai budak,” jelas sang Raja.
“Baik, Baginda. Syarat ini akan hamba sampaikan kepada anak hamba,” kata ibu Umar seraya mohon diri.
Setiba di rumah, janda itu pun menyampaikan syarat sang Raja kepada Umar. Maka, hari itu juga Umar berangkat ke istana. Setiba di sana, sang Raja pun langsung memberinya tugas.
“Hai, Umar. Aku perintahkan kamu membajak sawahku yang luas itu!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda Raja,” jawab Umar.
Umar pun mulai membajak sawah sang Raja. Ketika hari menjelang siang, ia kembali ke istana dengan keadaan haus dan lapar. Namun, setiba di istana, ia tidak diberi minum dan makan sedikit pun oleh sang Raja. Rupanya, Umar tidak tahan dengan perlakuan itu sehingga ia pun menjadi marah.
“Ampun, Baginda. Kenapa hamba tidak diberi makan dan minum? Padahal, hamba sudah bekerja keras membajak sawah Baginda,” kata Umar dengan perasaan kesal di hadapan sang Raja.
“Apakah kamu marah, Umar?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda. Siapa yang tidak marah jika diperlakukan seperti ini?” jawab Umar.
Mendengar jawab itu, sang Raja pun menyatakan bahwa Umar telah melanggar janji. Ia pun tidak boleh memperistri putri raja. Sialnya lagi, ia dijual sebagai budak ke luar negeri. Ibu dan adik-adik Umar yang mengetahui kabar tersebut menjadi sedih. Namun, hal itu tidak membuat adik-adik Umar berputus asa. Mereka pun mencoba untuk melamar sang Putri. Ketika anak kedua janda itu melamar sang Putri, ternyata dia juga gagal melalui ujian sehingga dijual sebagai budak ke luar negeri. Begitu pula anak ketiga hingga anak keenam janda itu mengalami nasib yang sama.
Kini, tinggal si Gulap yang menemani ibunya. Ketika ia berniat untuk melamar Putri raja, sang Ibu melarangnya.
“Jangan, Nak! Tinggal kamulah satu-satunya milik Ibu di dunia ini. Ibu tidak ingin kamu mengalami nasib sama seperti kakak-kakakmu. Lagi pula, Ibu sangat malu kepada Raja,” ujar sang Ibu.
“Tidak, Bu. Gulap tidak akan mengecewakan Ibu. Izinkanlah Gulap untuk mencobanya,” pinta Gulap.
Sang Ibu pun tidak bisa menolak keinginan putra bungsunya. Maka, ia terpaksa menghadap sang Raja lagi. Sang Raja pun bersedia menerima lamaran Gulap. Seperti keenam kakaknya, Gulap pun tinggal di istana. Ketika diperintahkan membajak sawah sang Raja yang luas itu, ia bekerja dengan tekun tanpa mengenal lelah. Meskipun tidak diberi makanan dan minuman, Gulap tetap bersabar menahan rasa lapar. Untuk melepas rasa dahaga, sekali-kali ia meminum air sawah. Akhirnya, pekerjaannya pun selesai saat hari mulai senja. Dengan rasa capai yang begitu berat, Gulap pulang ke istana.
“Hai, Gulap. Kenapa baru pulang? Apakah kamu tidak merasa haus dan lapar?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda. Sebenarnya hamba sangat lapar, tapi ada orang yang mengirimi hamba makanan,” jawab Gulap dengan tenang.
“Apakah kamu marah, Gulap?” tanya sang Raja.
“Tidak, Baginda,” jawab Gulap singkat.
“Tapi, kenapa wajahmu merah seperti itu?” tanya sang Raja lagi.
“Ampun, Baginda. Wajah hamba merah begini karena terkena terik matahari,” jawab Gulap.
Sang Raja tersenyum lebar. Ia amat puas melihat atas keberhasilan Gulap melalui ujian itu. Namun, hal itu bukan berarti Gulap sudah boleh menikah dengan sang Putri. Masih ada ujian lain yang harus dilaluinya. Keesokan hari, ia diajak oleh sang Raja ke kebun tebu yang amat luas miliknya sang Raja.
“Gulap, bersihkan dan buanglah daun-daun tebu itu!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda,” jawab Gulap.
Setelah sang Raja kembali ke istana, Gulap pun mulai bekerja. Namun, baru beberapa batang pohon tebu ia bersihkan tiba-tiba sesuatu terlintas di pikirannya.
“Wah, kalau begini terus keadaannya, lama-lama kesabaranku bisa hilang,” gumam Gulap.
Gulap pun berpikir keras bagaimana cara membuat sang Raja marah. Jika hal itu terjadi, tentu sang Rajalah yang akan dijual sebagai budak ke luar negeri.
“Hmmm… aku harus melakukan sesuatu agar sang Raja marah,” gumamnya.
Pemuda cerdik itu pun segera membuat lubang besar untuk pembuangan daun-daun tebu. Setelah itu, ia membersihkan daun-daun tebu itu lalu membuangnya ke dalam lubang yang telah dibuatnya. Setelah selesai, ia kembali ke istana untuk melapor kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda. Hamba telah menyelesaikan tugas hamba,” lapor Gulap.
“Bagus, Gulap. Kamu memang pemuda yang tekun dan rajin,” puji sang Raja.
Namun, alangkah murkanya sang Raja ketika memeriksa kebun tebunya. Seluruh tanaman tebunya telah gundul.
“Hai, Gulap. Kenapa kamu menggundul semua tanaman tebuku?” tanya sang Raja dengan kesal.
“Apakah Baginda marah kepada hamba?” Gulap balik bertanya.
“Iya, aku sangat marah. Kamu telah menggundul seluruh tanaman tebuku, padahal belum saatnya dipanen,” jawab sang Raja dengan muka merah.
“Ampun, Baginda. Masih ingatkah dengan janji yang pernah Baginda ucapkan?” tanya Gulap.
Sang Raja pun terdiam. Ia baru sadar bahwa dirinya telah melanggar janji.
“Iya, kamu benar. Aku pernah berjanji bahwa jika aku marah karena perbuatanmu, akulah yang akan dijual sebagai budak,” kata sang Raja, “Tapi, aku mohon jangan jual aku, Gulap! Aku berjanji akan menikahkanmu dengan putriku.”
“Baiklah, Baginda. Tapi, hamba pun mempunyai satu permintaan,” kata Gulap.
“Apa permintaanmu, Gulap?” tanya sang Raja.
“Hamba mohon agar keenam kakak hamba ditebus dan dibawa ke istana,” pinta Gulap.
Sang Raja pun memenuhi permintaan Gulap. Setelah keenam kakaknya dikembalikan ke istana, pernikahaan Gulap dengan sang Putri pun dilangsungkan dengan meriah. Keduanya pun hidup berbahagia. Untuk melengkapi kebahagiaan itu, Gulap memboyong ibu dan saudara-saudaranya untuk tinggal di istana.
Beberapa tahun kemudian, Gulap dinobatkan sebagai raja menggantikan mertuanya yang sudah tua. Sejak itulah, Gulap memimpin kerajaan itu dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup aman, tenteram, dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita Si Gulap yang Sabar dari daerah Bengkulu. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang sabar seperti Gulap pada akhirnya akan mendapat kebahagiaan. Sebaliknya, orang yang suka marah seperti keenam kakaknya akan menerima ganjarannya, walaupun pada akhirnya mereka dibebaskan dari perbudakan.
“Baiklah, Anakku. Tapi, jangan sampai memikirkan hal itu lalu kamu lupa makan dan istirahat,” pesan ibunya seraya beranjak dari tempat itu.
‘Iya, Bu,” jawab Umar.
Hari sudah sore, Umar masih saja duduk termenung. Ia masih berpikir bagaimana cara bisa mensejahterakan keluarganya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di pikirannya.
“Hmmm… Jika aku bisa menikahi putri raja yang kaya raya itu, nasib keluargaku pasti akan membaik,” gumamnya, “Ya, hanya itu satu-satu jalan yang dapat kulakukan.”
Rupanya, Umar benar-benar berniat ingin melamar putri sang Raja. Malam harinya, ia pun menyampaikan niat itu kepada ibunya.
“Bu, tolong lamarkan sang Putri untukku,” pinta Umar.
Ibunya yang sedang menganyam tikar tersentak mendengar permintaan Umar.
“Sadarkah kamu dengan perkataanmu itu, Anakku?” tanya ibunya dengan terkejut, “Kita ini orang miskin, tidak pantas meminang seorang putri.”
“Umar menyadari itu, Bu. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita mencobanya dulu,” jawab Umar.
Meskipun sang Ibu berkali-kali menasehatinya, Umar tetap bersikeras ingin melamar putri raja. Maka dengan berat hati, sang Ibu pun memberanikan diri menghadap sang Raja pada esok harinya. Setiba di istana, perempuan paruh baya itu memberikan sembah hormat kepada sang Raja.
“Mohon ampun Baginda atas kelancangan hamba. Hamba datang menghadap untuk menyampaikan lamaran Umar anak hamba,” lapor ibu Umar.
Sang Raja tahu jika Umar yang akan menjadi menantunya itu berasal dari rakyat biasa. Sebagai seorang raja, tentu ia tidak ingin kewibawaan keluarga kerajaan tercoreng karena memiliki menantu dari kalangan orang biasa. Untuk itulah, ia harus memberikan syarat kepada Umar sebelum menerima lamarannya.
“Baiklah, lamaran Umar aku terima tapi dengan satu syarat,” kata sang Raja.
“Ampun, Baginda. Apakah syarat itu?” tanya ibu Umar.
“Sebelum pernikahan ini dilangsungkan, Umar harus tinggal di istana dalam waktu beberapa hari untuk mengikuti beberapa ujian. Selama tinggal di istana, ia tidak boleh marah sekali saja dengan tugas apa pun yang kuberikan. Jika ia melanggarnya, maka ia akan kujual sebagai budak ke negeri lain. Sebaliknya, jika aku yang marah karena perbuatan Umar, maka akulah yang harus dijual sebagai budak,” jelas sang Raja.
“Baik, Baginda. Syarat ini akan hamba sampaikan kepada anak hamba,” kata ibu Umar seraya mohon diri.
Setiba di rumah, janda itu pun menyampaikan syarat sang Raja kepada Umar. Maka, hari itu juga Umar berangkat ke istana. Setiba di sana, sang Raja pun langsung memberinya tugas.
“Hai, Umar. Aku perintahkan kamu membajak sawahku yang luas itu!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda Raja,” jawab Umar.
Umar pun mulai membajak sawah sang Raja. Ketika hari menjelang siang, ia kembali ke istana dengan keadaan haus dan lapar. Namun, setiba di istana, ia tidak diberi minum dan makan sedikit pun oleh sang Raja. Rupanya, Umar tidak tahan dengan perlakuan itu sehingga ia pun menjadi marah.
“Ampun, Baginda. Kenapa hamba tidak diberi makan dan minum? Padahal, hamba sudah bekerja keras membajak sawah Baginda,” kata Umar dengan perasaan kesal di hadapan sang Raja.
“Apakah kamu marah, Umar?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda. Siapa yang tidak marah jika diperlakukan seperti ini?” jawab Umar.
Mendengar jawab itu, sang Raja pun menyatakan bahwa Umar telah melanggar janji. Ia pun tidak boleh memperistri putri raja. Sialnya lagi, ia dijual sebagai budak ke luar negeri. Ibu dan adik-adik Umar yang mengetahui kabar tersebut menjadi sedih. Namun, hal itu tidak membuat adik-adik Umar berputus asa. Mereka pun mencoba untuk melamar sang Putri. Ketika anak kedua janda itu melamar sang Putri, ternyata dia juga gagal melalui ujian sehingga dijual sebagai budak ke luar negeri. Begitu pula anak ketiga hingga anak keenam janda itu mengalami nasib yang sama.
Kini, tinggal si Gulap yang menemani ibunya. Ketika ia berniat untuk melamar Putri raja, sang Ibu melarangnya.
“Jangan, Nak! Tinggal kamulah satu-satunya milik Ibu di dunia ini. Ibu tidak ingin kamu mengalami nasib sama seperti kakak-kakakmu. Lagi pula, Ibu sangat malu kepada Raja,” ujar sang Ibu.
“Tidak, Bu. Gulap tidak akan mengecewakan Ibu. Izinkanlah Gulap untuk mencobanya,” pinta Gulap.
Sang Ibu pun tidak bisa menolak keinginan putra bungsunya. Maka, ia terpaksa menghadap sang Raja lagi. Sang Raja pun bersedia menerima lamaran Gulap. Seperti keenam kakaknya, Gulap pun tinggal di istana. Ketika diperintahkan membajak sawah sang Raja yang luas itu, ia bekerja dengan tekun tanpa mengenal lelah. Meskipun tidak diberi makanan dan minuman, Gulap tetap bersabar menahan rasa lapar. Untuk melepas rasa dahaga, sekali-kali ia meminum air sawah. Akhirnya, pekerjaannya pun selesai saat hari mulai senja. Dengan rasa capai yang begitu berat, Gulap pulang ke istana.
“Hai, Gulap. Kenapa baru pulang? Apakah kamu tidak merasa haus dan lapar?” tanya sang Raja.
“Ampun, Baginda. Sebenarnya hamba sangat lapar, tapi ada orang yang mengirimi hamba makanan,” jawab Gulap dengan tenang.
“Apakah kamu marah, Gulap?” tanya sang Raja.
“Tidak, Baginda,” jawab Gulap singkat.
“Tapi, kenapa wajahmu merah seperti itu?” tanya sang Raja lagi.
“Ampun, Baginda. Wajah hamba merah begini karena terkena terik matahari,” jawab Gulap.
Sang Raja tersenyum lebar. Ia amat puas melihat atas keberhasilan Gulap melalui ujian itu. Namun, hal itu bukan berarti Gulap sudah boleh menikah dengan sang Putri. Masih ada ujian lain yang harus dilaluinya. Keesokan hari, ia diajak oleh sang Raja ke kebun tebu yang amat luas miliknya sang Raja.
“Gulap, bersihkan dan buanglah daun-daun tebu itu!” titah sang Raja.
“Baik, Baginda,” jawab Gulap.
Setelah sang Raja kembali ke istana, Gulap pun mulai bekerja. Namun, baru beberapa batang pohon tebu ia bersihkan tiba-tiba sesuatu terlintas di pikirannya.
“Wah, kalau begini terus keadaannya, lama-lama kesabaranku bisa hilang,” gumam Gulap.
Gulap pun berpikir keras bagaimana cara membuat sang Raja marah. Jika hal itu terjadi, tentu sang Rajalah yang akan dijual sebagai budak ke luar negeri.
“Hmmm… aku harus melakukan sesuatu agar sang Raja marah,” gumamnya.
Pemuda cerdik itu pun segera membuat lubang besar untuk pembuangan daun-daun tebu. Setelah itu, ia membersihkan daun-daun tebu itu lalu membuangnya ke dalam lubang yang telah dibuatnya. Setelah selesai, ia kembali ke istana untuk melapor kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda. Hamba telah menyelesaikan tugas hamba,” lapor Gulap.
“Bagus, Gulap. Kamu memang pemuda yang tekun dan rajin,” puji sang Raja.
Namun, alangkah murkanya sang Raja ketika memeriksa kebun tebunya. Seluruh tanaman tebunya telah gundul.
“Hai, Gulap. Kenapa kamu menggundul semua tanaman tebuku?” tanya sang Raja dengan kesal.
“Apakah Baginda marah kepada hamba?” Gulap balik bertanya.
“Iya, aku sangat marah. Kamu telah menggundul seluruh tanaman tebuku, padahal belum saatnya dipanen,” jawab sang Raja dengan muka merah.
“Ampun, Baginda. Masih ingatkah dengan janji yang pernah Baginda ucapkan?” tanya Gulap.
Sang Raja pun terdiam. Ia baru sadar bahwa dirinya telah melanggar janji.
“Iya, kamu benar. Aku pernah berjanji bahwa jika aku marah karena perbuatanmu, akulah yang akan dijual sebagai budak,” kata sang Raja, “Tapi, aku mohon jangan jual aku, Gulap! Aku berjanji akan menikahkanmu dengan putriku.”
“Baiklah, Baginda. Tapi, hamba pun mempunyai satu permintaan,” kata Gulap.
“Apa permintaanmu, Gulap?” tanya sang Raja.
“Hamba mohon agar keenam kakak hamba ditebus dan dibawa ke istana,” pinta Gulap.
Sang Raja pun memenuhi permintaan Gulap. Setelah keenam kakaknya dikembalikan ke istana, pernikahaan Gulap dengan sang Putri pun dilangsungkan dengan meriah. Keduanya pun hidup berbahagia. Untuk melengkapi kebahagiaan itu, Gulap memboyong ibu dan saudara-saudaranya untuk tinggal di istana.
Beberapa tahun kemudian, Gulap dinobatkan sebagai raja menggantikan mertuanya yang sudah tua. Sejak itulah, Gulap memimpin kerajaan itu dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup aman, tenteram, dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita Si Gulap yang Sabar dari daerah Bengkulu. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang sabar seperti Gulap pada akhirnya akan mendapat kebahagiaan. Sebaliknya, orang yang suka marah seperti keenam kakaknya akan menerima ganjarannya, walaupun pada akhirnya mereka dibebaskan dari perbudakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar