Para Perawi Hadits: Imam An-Nasa'i, Dari Al-Mujtaba ke Sunan Nasa'i

Nama lengkap Imam An-Nasa’i adalah Abu Abdul Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurasani Al-Qadi. Ia lahir di daerah Nasa’ pada 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa ia lahir pada 214 H.

Ia dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (An-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadits kaliber dunia. Ia berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadits, yakni Al-Mujtaba yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan An-Nasa’i.

Pada awalnya, Nasa'i tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Ia berhasil menghapal Alquran di madrasah yang ada di desa kelahirannya. Ia juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya.

Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, ia pun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadits dan ilmu hadits.

Belum genap 15 tahun, Nasa'i sudah melakukan pengembaraan ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Irak, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh di kalangan para Imam Hadis.

Semua imam hadits, terutama enam imam hadits, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadits, termasuk Imam An-Nasa’i.

Kemampuan intelektual Imam Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, ia mengalami proses pembentukan intelektual. Sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.

Seperti para pendahulunya—Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam Tirmidzi—Imam Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para gurunya memiliki nama harum yang tercatat oleh pena sejarah, antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, Al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abu Dawud), serta Imam Abu Isa At-Tirmidzi (penyusun Kitab Al-Jami’ atau Sunan At-Tirmidzi).

Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramahnya, antara lain; Abu Al-Qasim At-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far At-Thahawi, Al-Hasan bin Al-Khadir Al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin Al-Ahmar Al-Andalusi, Abu Nashr Ad-Dalaby, dan Abu Bakar bin Ahmad As-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam An-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan An-Nasa’i.

Sudah mafhum di kalangan peminat kajian hadits dan ilmu hadits, para imam hadits merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadits kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.

Tidak ketinggalan pula Imam Al-Nasa’i. Karya-karyanya yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; As-Sunan Al-Kubra, As-Sunan As-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab As-Sunan Al-Kubra), Al-Khashais, Fadhail Al-Shahabah, dan Al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn Al-Atsir Al-Jazairi dalam kitabnya Jami Al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.

Karya Imam Al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan An-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan An-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari As-Sunan Al-Kubra, As-Sunan As-Sughra, Al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan An-Nasa’i.

Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan An-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan As-Sunan Al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, Imam Nasa'i kemudian menghadiahkan kitab tersebut kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan.

Amir kemudian bertanya kepada An-Nasa’i, "Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadits shahih?"

Nasa'i menjawab dengan jujur, "Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya."

Kemudian Amir berkata kembali, "Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadits yang shahih-shahih saja!"

Atas permintaan Amir ini, Imam Nasa'i kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadits yang telah tertuang dalam kitab As-Sunan Al-Kubra. Dan akhirnya ia berhasil melakukan perampingan terhadap As-Sunan Al-Kubra, sehingga menjadi As-Sunan Al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.

Imam Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadits-hadits yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar, "Kedudukan kitab As-Sunan Al-Sughra di bawah derajat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadits dhaif yang terdapat di dalamnya."

Nah, karena hadits-hadits yang termuat di dalam kitab kedua (As-Sunan Al-Sughra) merupakan hadits-hadits pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan Al-Mujtaba. Pengertian Al-Mujtaba bersinonim dengan Al-Mukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadits-hadits pilihan, hadits-hadits hasil seleksi dari kitab Al-Sunan Al-Kubra.

Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadits. Ia juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadits-hadits yang diterimanya.

Abu Ali Al-Naisapuri pernah berujar, "Orang yang meriwayatkan hadits kepada kami adalah seorang imam hadits yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abdul Rahman An-Nasa’i."

Setahun menjelang kemangkatannya, Imam Nasa'i pindah dari Mesir ke Damaskus (Suriah). Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggalnya. Ad-Daruquthni mengatakan, Imam Nasa'i wafat di Makkah dan dikebumikan di antara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah Al-’Uqbi Al-Mishri.

Sementara ulama yang lain, seperti Imam Adz-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Yunus, Abu Ja’far At-Thahawi (murid Nasa’i) dan Abu Bakar An-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, An-Nasa’i meninggal pada 303 H dan dikebumikan di Baitul Maqdis, Palestina.

 

republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...