Para Penunggang Unta di Benua Kangguru



Pada salah satu halamannya, sekitar dua minggu yang lalu, harian The Star menampilkan sebuah foto dengan keterangan singkat. Pada foto itu tampak seorang lelaki kulit putih dengan pakaian Asia Selatan sedang menggiring dua ekor unta di tengah kota Melbourne. Orang itu, Mark Austin, sedang menuju ke Museum Imigrasi dalam rangka memperingati ’Australia’s Muslim Camelers’ yang menjadi pionir pembukaan jalur transportasi di benua Kangguru itu antara tahun 1860 dan 1930-an.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa para penunggang unta dari Afghan dan sekitarnya pernah memberi kontribusi yang penting bagi perkembangan ekonomi Australia, serta bagi eksistensi Islam di benua kangguru itu. Mereka memang bukan kaum muslimin pertama yang datang ke benua tersebut. Sebelumnya sudah ada pelaut-pelaut Bugis yang tiba di benua itu – mereka datang untuk mencari tripang – jauh sebelum orang-orang kulit putih tiba di sana. Selain itu juga ada segelintir tawanan muslim dari negeri-negeri jajahan Inggris yang dibuang ke negeri itu. Namun, kehadiran para penunggang unta dari Afghan pada pertengahan abad ke-19 bisa dianggap sebagai kaum imigran muslim pertama yang bersifat permanen di Australia.


Pada masa lalu, keadaan benua Australia yang berpadang pasir tidak memungkinkan dibukanya jalur-jalur darat di antara kota-kota yang jauh. Koloni Inggris yang belum satu abad menjadi negara independen itu mengalami kesulitan dalam mengembangkan jalur-jalur transportasi. Ekspedisi demi ekspedisi dilakukan ke pedalaman Australia, tetapi selalu gagal. Kondisi gurun di benua itu tak bisa ditaklukkan oleh kuda. Hanya ada satu jenis hewan tunggangan yang mampu mengatasi keadaan geografis semacam itu, dan hewan itu adalah unta. Masalahnya, tidak ada unta di Australia. Maka pada tahun 1840 kaum kulit putih di Australia Selatan mendatangkan beberapa ekor unta untuk pertama kalinya ke benua tersebut. Unta-unta ini didatangkan dari Afghanistan dan India untuk keperluan ekspedisi.

Ketika menyadari pentingnya hewan ini bagi mereka, pada tahun 1860-an lebih banyak lagi unta didatangkan ke Australia, kali ini berikut para penunggangnya. Pengadaan unta segera menjadi bisnis yang penting di Australia. Para penunggang unta yang didatangkan dari wilayah Afghanistan dan sekitarnya biasanya dikontrak untuk bekerja selama 3 tahun. Banyak dari mereka yang kembali ke tanah leluhurnya setelah beberapa tahun bekerja di Australia, sementara sebagian lainnya menetap dan menikah dengan wanita-wanita Aborijin atau wanita-wanita Eropa. Sejak kedatangan orang-orang Afghan, nilai-nilai Islam mulai tertanam benihnya di benua ini.

Philip Jones, ko-kurator pameran tentang para penunggang unta Afghan, yang diadakan di National Library of Australia beberapa tahun yang lalu, mengakui bahwa kenangan tentang orang-orang Afghan ini tinggal sebagai catatan kaki belaka bagi ‘sejarah Australia yang sesungguhnya,’ yang dipandang sebagai eksplorasi kaum kulit putih. Padahal, masih menurut Jones, ’peranan mereka di pedalaman Australia sangat besar, jauh melampaui jumlah fisik mereka. Mereka membuka tanah pedalaman, mengangkut wol, menghubungkan pemukiman-pemukiman yang jauh dengan pasar-pasar Eropa dan membuka jalur-jalur pedalaman ...’ di benua tersebut.

Antara tahun 1860-an dan 1920-an diperkirakan ada 20.000 unta dan 2000 penunggang unta didatangkan dari Afghanistan, Baluchistan, dan wilayah yang kini bernama Pakistan. Kebanyakan mereka ini berasal dari suku Pashtun. Namun secara keseluruhan mereka disebut sebagai orang-orang Afghan oleh penduduk Australia. Orang-orang Afghan ini hidup secara terpisah dari komunitas kulit putih. Mereka tetap memelihara kebiasaan-kebiasaan mereka ke Australia dan berpegang pada agama Islam hingga ajal menjemput mereka. Mereka membangun masjid-masjid di Coolgardie, Cloncurry, Marree, dan Broken Hill.

Masjid yang mereka bangun pada tahun 1882 di Marree, Australia Selatan, merupakan masjid pertama di benua itu. Masjid besar di Adelaide yang dibangun pada tahun 1890 juga merupakan sumbangan komunitas Afghan ini.

Jejak-jejak para penunggang unta dari Afghan dapat dijumpai di beberapa tempat di Australia. Jejak-jejak ini tidak hanya didapati pada masjid saja, tapi juga pada tempat-tempat lainnya, yang kelihatannya diberikan sebagai kenangan terhadap sumbangan dan peranan mereka di masa lalu.

Sebagai contoh, jalan raya dari Darwin ke Adelaide dinamai The Ghan, yang merupakan penyederhanaan dari kata Afghan. Nama beberapa pionir Afghan juga ada yang digunakan sebagai nama tempat, seperti 'Bejah Hill' dan 'Saleh's Fish Pond.' Keahlian orang-orang Afghan ini serta bantuan mereka dalam beberapa ekspedisi bahkan beberapa tokoh ekspedisi kulit putih ada yang selamat dari kematian berkat bantuan orang-orang Afghan ini  menimbulkan rasa hormat terhadap mereka. Segelintir orang Afghan mampu mencapai tingkat keberhasilan tertentu, seperti Mohamet Allum yang beralih dari penunggang unta menjadi ahli herbal bagi masyarakat kelas atas. Kendati demikian, sikap kaum kulit putih Australia yang cenderung rasialis tetap saja memarjinalkan orang-orang Afghan ini. Karenanya, mereka seterusnya hidup terpisah dari masyarakat kulit putih.

Para penunggang unta ini telah berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian Australia selama lebih dari setengah abad. Namun ketika kendaraan bermotor mulai berperan menggantikan peranan hewan tunggangan pada tahun 1920-an, para penunggang unta ini mulai kehilangan pekerjaan. Ketika seorang pemuda Bosnia, Shefik Talanavic, dan kawan-kawannya bermigrasi ke Australia pada musim panas 1952, mereka mengunjungi masjid Adelaide. Ketika memasuki halaman masjid tersebut, mereka merasa terkejut karena menyaksikan pemandangan yang tidak biasa.

Di halaman masjid tersebut mereka mendapati 6-7 orang tua bersorban yang sedang duduk-duduk dan berbaring. Kebanyakan dari mereka berumur 90-an tahun. Yang paling muda 87 tahun dan yang paling tua 117 tahun. Mereka ini adalah para penunggang unta terakhir di Australia; para penunggang unta yang telah kehilangan pekerjaannya. Masjid yang mereka bangun di Adelaide itu menjadi tempat pengungsian bagi mereka. Shefik dan teman-temannya kemudian membangun kembali masjid tersebut. Mereka menyaksikan orang-orang Afghan itu meninggal dan dikuburkan satu demi satu. Para penunggang unta itu sama sekali tidak mengakumulasi kekayaan selama hidupnya. Mereka juga tidak meninggalkan warisan selain masjid yang mereka bangun.

Kendati orang-orang Afghan ini telah memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perekonomian Australia, peranan mereka cenderung terabaikan dalam sejarah Australia. Perhatian yang serius terhadap sejarah para penunggang unta ini, seperti yang kami singgung di awal artikel ini, baru dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya sejak tahun 2004.

Ironisnya, upaya ini dilakukan justru setelah terjadinya invasi yang dilakukan oleh negara-negara Barat, yang disertai juga oleh Australia, ke Afghanistan pada awal dekade ini. Walaupun kaum kulit putih modern berkilah tentang “teroris” yang mesti ditumpas di Afghanistan serta keinginan untuk ’membebaskan’ masyarakat Afghan, tak seorang pun yang memiliki akal sehat meragukan adanya kepentingan ekonomi di balik invasi tersebut.

Adakah sejarah para penunggang unta kembali diangkat untuk mencari simpati dan sebagai pembenaran atas keterlibatan Australia di Afghanistan pada hari ini?

Dulu mereka mendatangkan unta dan para penunggangnya dari Afghanistan untuk mengembangkan jalur perekonomian mereka. Kini setelah unta telah lama tidak dibutuhkan, apakah mereka ingin ikut mengeksploitasi sumber daya di negeri para mullah tersebut? 
Sejarah akan menjadi saksi atas semua ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...