BEBERAPA bulan yang lalu, saat seorang famili berkunjung ke Kuala Lumpur, kami mendengar ceritanya tentang perkembangan terbaru di Jakarta. ”Sekarang di Jakarta sedang tren anak-anak perempuan pakai celana pendek,” terangnya sambil geleng kepala. ”Kok bisa ya mereka tanpa malu berada di tempat umum dengan celana yang pendek seperti itu. Malah ada yang kalau sedang duduk atau menunduk, maka kelihatan bagian belakangnya.”
Saya tidak tahu seperti apa keadaannya di lapangan, karena saya hanya mendengarnya dari orang lain. Tetapi hal ini mengingatkan saya pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Ketika Demi Moore tampil di film Ghost dengan potongan rambut pendek, tiba-tiba saja hal itu menimbulkan ’demam rambut pendek’ di kalangan perempuan-perempuan Indonesia. Sebagian besar dari perempuan-perempuan itu tentu saja Muslimah, dan mereka mengikuti model rambut yang sama sekali tidak diajarkan oleh agama mereka sendiri.
Kejadian-kejadian semacam ini selalu berulang, dan tidak hanya berlaku di kalangan kaum perempuan. Banyak pria Muslim yang juga suka sekali mengikuti tren dan gaya hidup terbaru yang datang dari Barat, tanpa menimbang apakah itu sesuai dengan ajaran agamanya atau tidak. Semua yang datang dari Barat, dari bangsa yang sedang mendominasi peradaban modern, dianggap layak untuk ditiru. Sampai sekiranya mereka diajak untuk masuk ke lubang biawak, tentu mereka akan mengikutinya.
Saya tidak tahu seperti apa keadaannya di lapangan, karena saya hanya mendengarnya dari orang lain. Tetapi hal ini mengingatkan saya pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Ketika Demi Moore tampil di film Ghost dengan potongan rambut pendek, tiba-tiba saja hal itu menimbulkan ’demam rambut pendek’ di kalangan perempuan-perempuan Indonesia. Sebagian besar dari perempuan-perempuan itu tentu saja Muslimah, dan mereka mengikuti model rambut yang sama sekali tidak diajarkan oleh agama mereka sendiri.
Kejadian-kejadian semacam ini selalu berulang, dan tidak hanya berlaku di kalangan kaum perempuan. Banyak pria Muslim yang juga suka sekali mengikuti tren dan gaya hidup terbaru yang datang dari Barat, tanpa menimbang apakah itu sesuai dengan ajaran agamanya atau tidak. Semua yang datang dari Barat, dari bangsa yang sedang mendominasi peradaban modern, dianggap layak untuk ditiru. Sampai sekiranya mereka diajak untuk masuk ke lubang biawak, tentu mereka akan mengikutinya.
Bagi kaum Muslimin yang baik pemahamannya dan lebih kuat komitmennya terhadap nilai-nilai Islam, fenomena ini tentu terlihat aneh, menyedihkan, sekaligus juga menggemaskan. Kaum Muslimin yang kebarat-baratan lebih suka berbahasa Inggris daripada berbahasa Arab, akrab dengan kalender Masehi dan lupa akan kalender hijriah. Melecehkan saudara yang memelihara jenggot atau saudarinya yang berjilbab, sementara pada saat yang sama senang mengikuti penampilan, gaya berpakaian, dan gaya hidup masyarakat Barat yang tidak sejalan dengan agamanya sendiri. Mengapa semua itu sampai terjadi? Apakah ini merupakan hal yang wajar?
Jika ditanya apakah fenomena semacam ini wajar atau tidak, maka jawabannya bisa dua. Kalau yang dimaksud dengan wajar di sini adalah bahwa hal itu normal dan pantas untuk dilakukan, maka jawabannya adalah ’tidak wajar.’ Tindakan ikut-ikutan semacam itu sama sekali ’tidak pantas’ dilakukan oleh orang-orang yang berakal dan memiliki prinsip dalam hidup. Sebagian besar perilaku ikut-ikutan tren itu dilakukan tanpa pertimbangan rasional dan intelektual, dan itu hanya merendahkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berpikir. Tapi jika yang dimaksud dengan wajar di sini adalah ’fenomena sejarah dan peradaban yang biasa terjadi,’ maka jawabannya adalah ’ya, ini merupakan hal yang memang biasa terjadi.’
Budaya Inferior dan Pengaruh Islam
Fenomena ikut-ikut terhadap kebudayaan yang dominan tidak hanya terjadi pada kaum Muslimin, dan juga tidak hanya terjadi pada zaman modern ini saja. Sekarang ini, kaum Muslimin bukan satu-satunya pihak yang menyaksikan sebagian anggotanya terbaratkan. Banyak komunitas lain juga mengalami hal yang sama. Masyarakat Jepang yang menganut Shinto, juga banyak yang terbaratkan. Begitu juga sebagian masyarakat China yang menganut Budha dan Konghucu, segolongan masyarakat India yang Hindu, dan kelompok masyarakat dunia lainnya. Sejak dua abad terakhir, atau lebih, peradaban Barat telah tampil mendominasi dunia. Sebagai konsekuensinya, kebudayaan mereka menghegemoni peradaban dunia dan membuat sebagian masyarakat di luarnya mengalami inferiority complex dan cenderung mengikuti kebudayaan mereka, entah itu baik atau buruk, entah mereka memahaminya atau tidak.
Bangsa yang kalah selalu ingin mengikuti bangsa yang menang, demikian dinyatakan oleh Ibn Khaldun. Itu menjelaskan apa yang berlaku sekarang ini, dan apa yang berlaku juga di masa-masa yang lalu. Peradaban Barat sedang menang dan mendominasi, lantas bangsa-bangsa yang kalah cenderung mengikuti perilaku dan cara hidup mereka. Berdasarkan penjelasan ini kita dapat berasumsi bahwa jika yang unggul adalah peradaban lain, maka corak kebudayaan yang mendominasi adalah kebudayaan mereka. Sekiranya peradaban Melayu-Indonesia menjadi peradaban yang mendominasi dunia, maka kita akan mendapati sebagian orang Barat (dan juga bangsa-bangsa lainnya) menggunakan nama Rusdi, Agus, Siti, dan lain-lain. Sarung dan kopiah akan menjadi tren pakaian global; rendang dan nasi uduk/nasi lemak akan dijual di franchise-franchise internasional dan bergengsi; gamelan dan angklung mungkin akan lebih populer dari biola dan piano; Hikayat Abdullah menjadi rujukan sastra dunia; dan tokoh-tokoh seperti Walisongo masuk dalam kisah-kisah klasik yang mendunia. Ini hanya sebuah permisalan saja.
Membuat permisalan saja kadang tidak memadai. Kita memerlukan contoh nyata, dan itu bisa kita dapatkan di dalam sejarah. Barat tidak selamanya berada di atas dan Muslim tidak selalu berada di bawah. Ada kurun waktu kaum Muslimin pernah berjaya dan masyarakat Barat menjadi pihak yang kalah dan dipimpin. Pada masa itu, fenomena yang dijelaskan oleh Ibn Khaldun juga terjadi.
Ketika Islam masuk ke Spanyol dan membangun peradaban yang indah selama beberapa ratus tahun, kebudayaan Arab-Muslim mendominasi kawasan tersebut. Peradaban Islam dikenal sebagai peradaban yang toleran. Komunitas Kristen Andalusia dipersilahkan tetap tinggal di wilayah Muslim dan diperbolehkan mempraktikkan agama mereka. Mereka hidup di quarter mereka sendiri atau tinggal sebelah menyebelah dengan kaum Muslimin.
Pada perkembangannya, mereka terpengaruh oleh kebudayaan Arab-Muslim dan mengambilnya ke dalam keseharian mereka. Cara hidup mereka yang mirip dengan kaum Muslimin membuat mereka kemudian dikenal sebagai orang-orang Kristen yang terarabkan, Mozarabic Christians atau kaum Kristen Mozarab.
Istilah Mozarab ini merupakan istilah yang menarik. Pendapat yang umum diterima menyatakan bahwa istilah ini bersumber dari kata Arab musta’rib yang artinya kurang lebih ’terarabkan’ (arabised). Namun Encyclopaedia of Islam menyebutkan bahwa teks-teks Hispano-Arab sendiri kurang mengenal istilah ini. Tidak tertutup kemungkinan istilah ini justru dimunculkan oleh kalangan internal Kristen sebagai kritik dan celaan terhadap rekan-rekan mereka di selatan Spanyol yang rela hidup di bawah dominasi Muslim.
Komunitas Kristen Mozarab tidak berkonversi ke agama Islam, tetapi mereka mengambil dan mempraktikkan banyak aspek dari kebudayaan Arab-Muslim. Pada saat itu posisi masyarakat Kristen Barat, khususnya yang berada di Spanyol, sangat inferior di hadapan peradaban Islam yang mendunia dan tumbuh dengan sangat cepat. Maka banyak dari mereka yang kemudian mengadopsi kebudayaan kaum Muslimin dalam hal bahasa, cara berpakaian, model rambut, pola pernikahan, kebiasaan berkhitan, pembatasan makanan, sastra, hingga musik. Kaum Kristen Mozarab pada masa itu dapat dijumpai di kota-kota penting di Andalusia, seperti Cordova, Seville, Merida, Toledo, dan kota-kota lainnya.
Jika pada masa sekarang ini kalangan Muslim yang terbaratkan menerima pengaruh berupa cara pakaian yang lebih terbuka dan vulgar, serta pola pergaulan lawan jenis yang bebas, masyarakat Kristen Andalusia yang terarabkan pada masa itu menerima pengaruh berupa cara berpakaian yang lebih sopan, pola hidup yang lebih higienis, serta kecenderungan untuk tidak makan daging babi. Perubahan pola hidup ini sangat signifikan dan begitu kontras jika dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lain. Pengamatan terhadap penduduk Kristen di Jiliqiyya oleh Ibrahim al-Turthusi memberi gambaran semacam ini:
”Penduduknya... tidak menjaga kebersihan mereka dan hanya membasuh diri dengan air dingin satu atau dua kali saja dalam setahun. Mereka tidak pernah mencuci pakaian mereka sejak mereka mengenakannya hingga pakaian tersebut hancur di badan mereka, dan mereka mempercayai bahwa kotoran yang menempel di tubuh dan bercampur dengan keringat merupakan hal yang bagus bagi tubuh mereka dan membuat mereka tetap sehat. Pakaian-pakaian mereka sangat ketat dan banyak bagiannya yang terbuka, sehingga memperlihatkan sebagian besar anggota tubuh mereka.” Kendati demikian, mereka ini ”memiliki keberanian yang besar dan tidak pernah lari dari medan pertempuran...”
Kecenderungan penduduk Kristen terhadap budaya Arab-Muslim telah menimbulkan kekesalan saudara-saudara mereka yang lebih fanatik. Di Cordova pada pertengahan abad kesembilan, ketidaksukaan ini diekspresikan dengan cara melakukan ’teror’ di depan umum. Mereka melakukan penghinaan terhadap Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam dan terhadap Islam secara terbuka. Mereka mengetahui bahwa penghinaan semacam itu di dunia Islam memiliki konsekuensi hukuman mati. Memang itulah yang ingin mereka lakukan: menjadi martir. Insiden-insiden semacam ini sempat berlangsung selama beberapa waktu hingga pemimpin ideologis mereka, Eulogius, ditangkap dan dihukum mati.
Eulogius dan kelompoknya telah membuat propaganda dengan menyatakan bahwa orang-orang Kristen telah ditindas di bawah pemerintahan Islam. Mereka mengeluhkan pengaruh kebudayaan Islam terhadap generasi muda Kristen yang mulai cenderung mengabaikan budaya mereka sendiri dan bersemangat mempelajari bahasa Arab dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Islam. Mereka cukup berhasil dalam memancing ketegangan antara pemerintah Muslim dan umat Kristiani di Cordova. Tetapi kecenderungan masyarakat Kristen dalam mengadopsi kebudayaan Muslim tetap berlangsung selama beberapa abad berikutnya.
Sebagian dari orang-orang Kristen di selatan ada yang bermigrasi ke utara Spanyol dan ditampung oleh kerajaan Kristen yang ada di sana. Mereka membawa kebudayaan Muslim bersama mereka ke tempat yang baru. Kerajaan Asturias yang menerima mereka pun menerimanya karena alasan-alasan praktis. Mereka memiliki keterampilan dan tingkat peradaban lebih baik yang bisa dimanfaatkan oleh kerajaan tersebut. Kaum Kristen Mozarab ini membangun gereja-gereja baru di Utara dan mengembangkan sastra dan kebudayaan di sana. Mereka mempertahankan penggunaan bahasa Arab pada komunitas mereka. Manuskrip-manuskrip mereka banyak diwarnai corak-corak yang khas.
Gereja-gereja mereka, yang dikenal sebagai gereja Mozarab, memiliki lengkung-lengkung arkade tapal kuda dan mirip dengan yang biasa di jumpai di gedung-gedung dan masjid Cordova. Bahkan liturgi dan senandung gerejawi mereka pun berbeda dengan yang ada di gereja-gereja Katolik dan dikenal dengan istilah Mozarab juga, walaupun yang terakhir ini mungkin bersumber dari tradisi Kristen Visigoth yang eksis sebelum masuknya Islam ke wilayah Spanyol.
Dengan jatuhnya Toledo ke tangan pasukan Kristen pada tahun 1085 dan proses reconquista yang sedikit demi sedikit mendesak kaum Muslimin ke selatan, pengaruh dan eksistensi kaum Kristen Mozarab semakin berkurang. Pihak Katolik yang semakin kuat pengaruhnya di Spanyol menilai praktik-praktik keagamaan kaum Mozarab sebagai penyimpangan dan berusaha menghapusnya. Kalau mereka memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menghapus pengaruh kebudayaan Islam di dunia Kristen, hal itu merupakan hal yang wajar. Selama berabad-abad peradaban Islam masih memimpin dunia dan daya pikatnya sulit untuk diabaikan oleh mereka-mereka yang ingin mencicipi kemajuannya.
Sebagaimana pernah kami singgung dalam tulisan yang lain, sikap kearab-araban ini tidak hanya berlaku di Andalusia, tetapi juga di beberapa wilayah Barat lainnya, terutama Sisilia. Sejak akhir abad kesebelas Sisilia yang sempat dikuasai Islam jatuh ke tangan bangsa Norman. Namun penguasa-penguasa Kristen generasi kedua dan berikutnya segera jatuh cinta pada kebudayaan Islam. Mereka menguasai bahasa Arab dengan baik, menggunakan gelar-gelar Arab, mencantumkan gelar Arab itu di dalam koin yang mereka cetak, mengundang dan mendanai para ilmuwan dan sastrawan Muslim, dan bersikap sangat toleran terhadap warga Muslim mereka -sikap yang sama sekali tidak akan dijumpai pada wilayah-wilayah Eropa yang dikendalikan oleh Katolik pada masa itu. Paus yang merasa kesal dengan sikap kekristenan yang ambigu dari raja-raja ini, menjuluki mereka sebagai ’sultan-sultan yang dibaptis’ (the baptized sultans) atau Krypto-Muslims.
Kecenderungan mereka terhadap kebudayaan Islam begitu menonjol sampai-sampai salah satu raja mereka, Frederick II (1208-1250), memprotes saat berkunjung ke Yerusalem dan tidak mendengar suara azan. Ia meminta Gubernur kota tersebut agar memerintahkan para muazzin mengeraskan azannya seperti biasa karena ia suka mendengarnya. Saat meninggal dunia, ia minta dikuburkan dengan menggunakan kain kafan, sebagaimana tradisi umat Islam. Sikap cenderung pada kebudayaan Islam di Sisilia ini tidak hanya berlaku di kalangan para raja, tetapi juga rakyat biasa.
Seorang pengembara Muslim bernama Ibn Jubayr mencatat beberapa kebiasaan Muslim yang diadopsi oleh komunitas Kristen saat ia berkunjung ke pulau itu pada tahun 1185. Ibn Jubayr menyebutkan bahwa kaum perempuan di pulau itu banyak yang mengikuti cara berpakaian kaum Muslimin, termasuk menggunakan kerudung. Masyarakat Kristen di pulau tersebut juga tidak makan daging babi. Namun, karena tekanan Vatikan, pengaruh dan eksistensi umat Islam di pulau tersebut terus dikikis hingga akhirnya terhapus sama sekali pada tahun 1300.
Hal semacam ini selalu berlaku di sepanjang sejarah. Bangsa yang inferior cenderung mengikuti bangsa yang lebih superior secara politik dan budaya. Hal itu juga yang sedang terjadi pada banyak kaum Muslimin hari ini. Pertanyaannya adalah, sampai kapan kaum Muslimin akan membiarkan peradabannya terus berada di posisi yang inferior? Dan akhirnya, terlepas dari kekalahan budaya yang mereka derita, semoga kaum Muslimin yang hidup di zaman modern ini mampu bersikap independen terhadap penetrasi budaya Barat, seperti sikap yang diambil Malik Bennabi saat ia memilih untuk tidak bersikap inferior ataupun superior terhadap kebudayaan Barat.
Ia lebih memilihnya untuk menempatkan peradaban Barat sesuai dengan konteks sejarahnya. Dengan begitu kaum Muslimin akan memahami bahwa masyarakat Barat pun pernah kalah secara budaya dan kedigdayaan mereka hari ini juga tidak akan bertahan selamanya. Dari sana kaum Muslimin bisa membebaskan diri mereka dari sikap ikut-ikutan yang bodoh dan tidak perlu, dan kemudian merencanakan langkah-langkah strategis untuk membangun kembali peradaban mereka yang tengah terpuruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar