Berdasarkan catatan sejarah, negara Singapura dulunya bernama negeri Temasik. Istilah “Temasik” ini diambil dari bahasa Jawa Kuna tumasik yang berarti menyerupai laut, sedangkan dalam bahasa Melayu berarti hutan rawa. Negeri ini dinamakan Temasik karena berada di tepi laut yang dihuni oleh nelayan Bumiputera (suku-bangsa Melayu). Menurut sebuah legenda, pada awalnya nelayan Bumiputra hidup tenteram, damai, dan makmur. Namun, sejak diperintah oleh seorang raja yang sangat kejam dan angkuh, maka rakyat Bumiputera menjadi resah dan menderita. Karena kekejaman dan keangkuhan raja itu pulalah, negeri Temasik dilanda malapetaka yang sangat dahsyat. Suatu hari, negeri Temasik diserang oleh ikan Todak yang sangat ganas, sehingga menyebabkan jatuhnya banyak korban dari nelayan Bumiputra yang hidup di tepi laut. Kemudian negeri Temasik ini diselamatkan oleh seorang anak kecil bernama si Kabil. Legenda ini masih berkembang di kalangan masyarakat Singapura yang dikenal dengan Legenda Batu Rantai: Temasik Dilanda Todak.
Tersebutlah dalam sebuah kisah beberapa abad lalu, negeri Temasik diperintah oleh Paduka Seri Maharaja, seorang Raja yang terkenal sangat kejam dan angkuh. Suatu ketika, Raja itu tega menghukum mati seorang ulama yang juga sebagai pedagang dari Pasai bernama Tun Jana Khatib. Sebenarnya, ulama itu tidak bersalah, ia secara tidak sengaja berpandangan mata dengan permasuri Raja. Namun, sang Raja yang melihat kejadian itu menjadi murka. Tak ada yang bisa mencegahnya untuk menjatuhkan hukuman itu. Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana untuk menangkap dan menghukum mati sang Ulama.
Tersebutlah dalam sebuah kisah beberapa abad lalu, negeri Temasik diperintah oleh Paduka Seri Maharaja, seorang Raja yang terkenal sangat kejam dan angkuh. Suatu ketika, Raja itu tega menghukum mati seorang ulama yang juga sebagai pedagang dari Pasai bernama Tun Jana Khatib. Sebenarnya, ulama itu tidak bersalah, ia secara tidak sengaja berpandangan mata dengan permasuri Raja. Namun, sang Raja yang melihat kejadian itu menjadi murka. Tak ada yang bisa mencegahnya untuk menjatuhkan hukuman itu. Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana untuk menangkap dan menghukum mati sang Ulama.
Namun, sebelum hukuman mati itu dilaksanakan, sang Ulama berpesan kepada penduduk Temasik. "Wahai kalian penduduk Temasik! Ketahuilah! Aku rela dengan kematian ini! Tetapi raja yang zalim itu tak akan lepas begitu saja. Dia akan membayar harga atas kezaliman itu...Dan percayalah di negeri ini akan terjadi huru-hara! Negeri ini akan ditimpa malapetaka yang sangat dahsyat....!!!". Selesai menyampaikan pesan, sang Ulama pun dihukum mati. Dadanya ditusuk sebila keris oleh pengawal istana hingga tersungkur tak berdaya. Sesaat setelah sang Ulama dihukum, terjadilah sebuah peristiwa gaib. Pada saat jenazah sang Ulama dibawa ke pemakaman, tiba-tiba mayatnya menghilang. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba petir menyambar dan menggemparkan negeri Temasik, lalu disusul dentuman suara keras. Penduduk Temasik kemudian berlari menyelamatkan diri dan pergi ke tempat di mana sang Ulama dihukum. Suasana Temasik semakin gempar setelah penduduk menemukan bekas darah sang Ulama di tempat kejadian itu berubah menjadi batu.
Peristiwa gaib di atas adalah pertanda akan datangnya malapetaka dahsyat di negeri Temasik. Pada suatu hari, tiba-tiba Temasik diserang beribu-ribu ikan Todak. Gerombolan ikan yang berparuh panjang, runcing, dan tajam itu menyerang penduduk sampai ke pelosok desa di sekitar pantai. Penduduk berlarian menghindari serangan ikan itu. Namun, musibah tak terelakkan lagi, banyak penduduk bergelimpangan secara mengerikan. Tak lama kemudian, kabar peristiwa ini pun sampai di telinga sang Raja. Dengan cepat, sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana menyediakan seekor gajah tunggangan untuk pergi ke tempat kejadian. Sesampainya di pantai, sang Raja menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Sang Raja kemudian memerintahkan pengawal istana dan penduduk agar membuat pagar betis. Namun upaya itu justru membuat ikan Todak tersebut kian mengganas. Hari demi hari, penduduk yang mati dan luka-luka diserang ikan Todak tersebut semakin bertambah. Penduduk yang terluka itu, merintih dan mengerang kesakitan siang dan malam.
Meskipun banyak penduduk yang menjadi korban keganasan ikan Todak tersebut, namun tak seorang pun yang berani meninggalkan negeri itu tanpa titah sang Raja. Penduduk tetap berdiri mematuhi titah raja untuk membuat pagar betis. Rintihan penduduk yang menahan sakit tidak dihiraukan sang Raja yang sangat kejam itu. Sang Raja justru diam-diam bermaksud meninggalkan negeri Temasik untuk bersembunyi. Pada saat sang Raja sedang berlari bersembunyi, ia diserang oleh seekor ikan Todak. Ia berusaha menghindar, namun baju sang Raja tersambar paruh ikan Todak. Sang Raja amat cemas dan menggigil ketakutan. “Tolooong...! Tolooong...! Bajuku robek!” jerit sang Raja ketakutan. Tetapi, jeritan tersebut tak ada yang menghiraukan. Tak seorang pun menghampiri sang Raja untuk menolongnya.
Dalam keadaan panik, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki kecil menghampiri sang Raja. “Percuma saja Temasik dipagar betis dengan manusia, sampai habis penduduk Temasik ini, serangan ikan Todak tidak dapat dikalahkan,” kata anak kecil itu mengingatkan. Mendengar suara anak kecil yang datang tiba-tiba itu, sang Raja segera bertanya: “Hei, budak! Siapakah engkau ini, dari mana asalmu hingga beraninya engkau menasihatiku?” tanya sang Raja dengan nada kesal.
Dengan santun, anak kecil itu menjelaskan dirinya: “Ampun, wahai Baginda Raja, hamba bernama Kabil. Hamba datang dari Bintan Penaungan,” jelas Kabil seraya menyembah. “Hamba hidup di pinggir laut, dan hamba mengenal sifat ikan Todak. Ikan Todak tidak dapat dilumpuhkan dengan betis manusia, melainkan dengan batang pisang. Apabila Sang Raja mengizinkan, hamba mohon agar Temasik dipagari dengan batang pisang,” kata Kabil setengah memohon.
“Batang pisang? Untuk Apa?,” tanya sang Raja dengan heran. “Jika kita menggunakan batang pisang sebagai perisai di sepanjang pantai, maka paruh ikan Todak itu akan tertancap pada batang pisang. Pada saat itulah, para penduduk menggunakan kesempatan untuk membunuh ikan-ikan Todak itu,” jelas Kabil pada sang Raja. Tanpa berpikir panjang, sang Raja bertitah kepada panglima dan rakyatnya, “Wahai sekalian panglima dan rakyatku sekalian, angkutlah batang pisang sebanyak-banyaknya, lalu pagari negeri kita ini dengan batang pisang!” Mendengar titah sang Raja, seluruh panglima dan penduduk yang ada di tempat kejadian itu segera mencari batang pisang ke kebun-kebun pisang. Setelah mendapat banyak batang pisang, mereka pun membawanya ke pantai. Tak lama kemudian Temasik berubah menjadi negeri berpagar batang pisang. Ikan-ikan Todak yang sedang mengamuk itu tersangkut di batang pisang, sehingga menggelepar-gelepar tak berdaya. Penduduk pun dengan mudah membunuhnya dan kemudian mengambilnya untuk dimakan dagingnya.
Rakyat negeri Temasik pun bersuka ria, karena terlepas dari malapetaka. Sebagai tanda berakhirnya kesedihan itu, maka dibuatlah pantun ikan Todak:
Temasik dilanggar Todak
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Namun, di tengah suasana gembira tersebut, para pembesar istana justru berpikir lain. Mereka menjadi cemas dan takut kalau anak kecil itu akan merampas negeri Temasik. Merasa terancam, para pembesar istana menghadap sang Raja. “Ampun, Baginda Raja! Jika si Kabil tidak kita singkirkan, tidak mustahil suatu hari anak itu akan menguasai kita dan akan merampas negeri Temasik ini,” kata salah satu pembesar istana mempengaruhi. “Benar Baginda, selagi kecil dia sudah pintar, hingga sanggup mengalahkan ikan Todak, apalagi sudah besar kelak,” tambah pembesar istana yang lainnya. “Aku setuju, tapi kalian harus ingat, si Kabil ini anak pintar. Jika kita tidak membuanganya jauh-jauh, dia pasti akan kembali lagi ke negeri ini. Maka sebaiknya masukkan saja anak itu ke dalam kurungan baja, lilitkan dengan rantai besi, lalu tenggelamkan di tengah laut,” titah sang Raja kepada pembesar istana tersebut.
Keesokan harinya, Kabil pun ditangkap, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan baja, dikunci dan diikat dengan rantai besi, lalu dinaikan ke atas perahu. Dengan dikawal sang Raja dan beberapa pengawal istana, berangkatlah mereka ke perairan Pulau Segantang Lada, tempat dimana Kabil akan ditenggelamkan. Tak berapa lama, mereka pun sampai di tempat tujuan. “Ampun Baginda Raja! Kita sudah sampai di Perairan Pulau Segantang Lada!” lapor seorang pengawal kepada Raja. “Tenggelamkan anak kecil itu!” perintah sang Raja. Namun, sebelum ditenggelamkan, Kabil bertanya kepada sang Raja. “Beginikah balasan Baginda Raja kepada hamba? Tidakkah ada jalan lain yang lebih baik untuk menghindari kematian ini? “Baginda Raja.....hamba belum rela mati muda,” ratap Kabil dari dalam kurungan.
Peristiwa gaib di atas adalah pertanda akan datangnya malapetaka dahsyat di negeri Temasik. Pada suatu hari, tiba-tiba Temasik diserang beribu-ribu ikan Todak. Gerombolan ikan yang berparuh panjang, runcing, dan tajam itu menyerang penduduk sampai ke pelosok desa di sekitar pantai. Penduduk berlarian menghindari serangan ikan itu. Namun, musibah tak terelakkan lagi, banyak penduduk bergelimpangan secara mengerikan. Tak lama kemudian, kabar peristiwa ini pun sampai di telinga sang Raja. Dengan cepat, sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana menyediakan seekor gajah tunggangan untuk pergi ke tempat kejadian. Sesampainya di pantai, sang Raja menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Sang Raja kemudian memerintahkan pengawal istana dan penduduk agar membuat pagar betis. Namun upaya itu justru membuat ikan Todak tersebut kian mengganas. Hari demi hari, penduduk yang mati dan luka-luka diserang ikan Todak tersebut semakin bertambah. Penduduk yang terluka itu, merintih dan mengerang kesakitan siang dan malam.
Meskipun banyak penduduk yang menjadi korban keganasan ikan Todak tersebut, namun tak seorang pun yang berani meninggalkan negeri itu tanpa titah sang Raja. Penduduk tetap berdiri mematuhi titah raja untuk membuat pagar betis. Rintihan penduduk yang menahan sakit tidak dihiraukan sang Raja yang sangat kejam itu. Sang Raja justru diam-diam bermaksud meninggalkan negeri Temasik untuk bersembunyi. Pada saat sang Raja sedang berlari bersembunyi, ia diserang oleh seekor ikan Todak. Ia berusaha menghindar, namun baju sang Raja tersambar paruh ikan Todak. Sang Raja amat cemas dan menggigil ketakutan. “Tolooong...! Tolooong...! Bajuku robek!” jerit sang Raja ketakutan. Tetapi, jeritan tersebut tak ada yang menghiraukan. Tak seorang pun menghampiri sang Raja untuk menolongnya.
Dalam keadaan panik, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki kecil menghampiri sang Raja. “Percuma saja Temasik dipagar betis dengan manusia, sampai habis penduduk Temasik ini, serangan ikan Todak tidak dapat dikalahkan,” kata anak kecil itu mengingatkan. Mendengar suara anak kecil yang datang tiba-tiba itu, sang Raja segera bertanya: “Hei, budak! Siapakah engkau ini, dari mana asalmu hingga beraninya engkau menasihatiku?” tanya sang Raja dengan nada kesal.
Dengan santun, anak kecil itu menjelaskan dirinya: “Ampun, wahai Baginda Raja, hamba bernama Kabil. Hamba datang dari Bintan Penaungan,” jelas Kabil seraya menyembah. “Hamba hidup di pinggir laut, dan hamba mengenal sifat ikan Todak. Ikan Todak tidak dapat dilumpuhkan dengan betis manusia, melainkan dengan batang pisang. Apabila Sang Raja mengizinkan, hamba mohon agar Temasik dipagari dengan batang pisang,” kata Kabil setengah memohon.
“Batang pisang? Untuk Apa?,” tanya sang Raja dengan heran. “Jika kita menggunakan batang pisang sebagai perisai di sepanjang pantai, maka paruh ikan Todak itu akan tertancap pada batang pisang. Pada saat itulah, para penduduk menggunakan kesempatan untuk membunuh ikan-ikan Todak itu,” jelas Kabil pada sang Raja. Tanpa berpikir panjang, sang Raja bertitah kepada panglima dan rakyatnya, “Wahai sekalian panglima dan rakyatku sekalian, angkutlah batang pisang sebanyak-banyaknya, lalu pagari negeri kita ini dengan batang pisang!” Mendengar titah sang Raja, seluruh panglima dan penduduk yang ada di tempat kejadian itu segera mencari batang pisang ke kebun-kebun pisang. Setelah mendapat banyak batang pisang, mereka pun membawanya ke pantai. Tak lama kemudian Temasik berubah menjadi negeri berpagar batang pisang. Ikan-ikan Todak yang sedang mengamuk itu tersangkut di batang pisang, sehingga menggelepar-gelepar tak berdaya. Penduduk pun dengan mudah membunuhnya dan kemudian mengambilnya untuk dimakan dagingnya.
Rakyat negeri Temasik pun bersuka ria, karena terlepas dari malapetaka. Sebagai tanda berakhirnya kesedihan itu, maka dibuatlah pantun ikan Todak:
Temasik dilanggar Todak
Todak melanggar batang pisang
Orang tua berperangai budak
Seperti aur ditarik sungsang
Namun, di tengah suasana gembira tersebut, para pembesar istana justru berpikir lain. Mereka menjadi cemas dan takut kalau anak kecil itu akan merampas negeri Temasik. Merasa terancam, para pembesar istana menghadap sang Raja. “Ampun, Baginda Raja! Jika si Kabil tidak kita singkirkan, tidak mustahil suatu hari anak itu akan menguasai kita dan akan merampas negeri Temasik ini,” kata salah satu pembesar istana mempengaruhi. “Benar Baginda, selagi kecil dia sudah pintar, hingga sanggup mengalahkan ikan Todak, apalagi sudah besar kelak,” tambah pembesar istana yang lainnya. “Aku setuju, tapi kalian harus ingat, si Kabil ini anak pintar. Jika kita tidak membuanganya jauh-jauh, dia pasti akan kembali lagi ke negeri ini. Maka sebaiknya masukkan saja anak itu ke dalam kurungan baja, lilitkan dengan rantai besi, lalu tenggelamkan di tengah laut,” titah sang Raja kepada pembesar istana tersebut.
Keesokan harinya, Kabil pun ditangkap, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan baja, dikunci dan diikat dengan rantai besi, lalu dinaikan ke atas perahu. Dengan dikawal sang Raja dan beberapa pengawal istana, berangkatlah mereka ke perairan Pulau Segantang Lada, tempat dimana Kabil akan ditenggelamkan. Tak berapa lama, mereka pun sampai di tempat tujuan. “Ampun Baginda Raja! Kita sudah sampai di Perairan Pulau Segantang Lada!” lapor seorang pengawal kepada Raja. “Tenggelamkan anak kecil itu!” perintah sang Raja. Namun, sebelum ditenggelamkan, Kabil bertanya kepada sang Raja. “Beginikah balasan Baginda Raja kepada hamba? Tidakkah ada jalan lain yang lebih baik untuk menghindari kematian ini? “Baginda Raja.....hamba belum rela mati muda,” ratap Kabil dari dalam kurungan.
Sang Raja hanya bergeming mendengar ratapan Kabil. Setelah itu diperintahkannya pengawal istana untuk segera menenggelamkan kurungan yang berisi Kabil itu. “Byuuurr....byuuurr....byuuur....” terdengar bunyi suara air ketika kurungan diceburkan ke dalam laut di karang Kepala Sambu. Tak lama kemudian, Kabil pun mati dalam keadaan yang mengenaskan, setelah ia baru saja berjasa menyelamatkan nyawa penduduk negeri Temasik.
Sejak peristiwa mengenaskan itu, sampai saat ini, suara pusar arus mendesah, “Byuuurr ... sssh ... byuuur ....”, seolah menyimpan perasaan sedih yang menyayat. Ombak yang bertemu arus pasang sangatlah ganas, seperti orang yang meronta-ronta. Oleh karena itu, para pelaut dan nahkoda kapal yang melintasi gugusan pulau tersebut selalu menghindari karang berbahaya di perairan Sambu ini untuk menjaga keselamatan penumpangnya. Peninggalan Legenda Batu Rantai ini berada di antara gugusan Pulau Sambu dan Batam, di perairan Riau, Indonesia.
Sejak peristiwa mengenaskan itu, sampai saat ini, suara pusar arus mendesah, “Byuuurr ... sssh ... byuuur ....”, seolah menyimpan perasaan sedih yang menyayat. Ombak yang bertemu arus pasang sangatlah ganas, seperti orang yang meronta-ronta. Oleh karena itu, para pelaut dan nahkoda kapal yang melintasi gugusan pulau tersebut selalu menghindari karang berbahaya di perairan Sambu ini untuk menjaga keselamatan penumpangnya. Peninggalan Legenda Batu Rantai ini berada di antara gugusan Pulau Sambu dan Batam, di perairan Riau, Indonesia.
melayuonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar