PERCAYA KELEDAI
Sumber: http://qomiku.wordpress.com |
KONSISTEN
Sumber: http://qomiku.wordpress.com |
KETIKA SHOLAT
sumber: http://amil.50webs.com/portfolio |
TIDAK BISA DITIPU
sumber: http://amil.50webs.com/portfolio |
HARGA KEBENARAN
Seperti biasanya, Nasrudin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material."
Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?"
"Kalau engkau perhatikan," sahut Nasrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."
Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?"
"Kalau engkau perhatikan," sahut Nasrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."
BAHASA KURDI
Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya bersedia.
"Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash."
"Bagaimana dengan sop dingin ?"
"Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi."
"Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash."
"Bagaimana dengan sop dingin ?"
"Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi."
MANIPULASI DESKRIPSI
Nasrudin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Nasrudin tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya.
Seseorang protes, "Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu."
"Nah," kata Nasrudin, "Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek."
Seseorang protes, "Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu."
"Nah," kata Nasrudin, "Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek."
SAMA RATA SAMA RASA
Seorang filosof menyampaikan pendapat, "Segala sesuatu harus dibagi sama rata."
"Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan," kata seorang pendengar yang skeptik.
"Tapi pernahkah engkau mencobanya ?" balas sang filosof.
"Aku pernah," sahut Nasrudin, "Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa pun yang mereka inginkan."
"Bagus sekali," kata sang filosof, "Dan bagaimana hasilnya ?"
"Hasilnya ? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk."
"Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan," kata seorang pendengar yang skeptik.
"Tapi pernahkah engkau mencobanya ?" balas sang filosof.
"Aku pernah," sahut Nasrudin, "Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka memperoleh apa pun yang mereka inginkan."
"Bagus sekali," kata sang filosof, "Dan bagaimana hasilnya ?"
"Hasilnya ? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk."
PELAYAN RAJA
Nasrudin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali.
"Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?" tanya raja kepada Nasrudin.
"Teramat baik, Tuanku."
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
"Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!"
"Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Nasrudin.
"Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik."
"Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran."
"Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?" tanya raja kepada Nasrudin.
"Teramat baik, Tuanku."
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
"Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!"
"Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Nasrudin.
"Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik."
"Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran."
JUBAH HITAM
Nasrudin berjalan di jalan raya dengan mengenakan jubah hitam tanda duka, ketika seseorang bertanya, "Mengapa engkau berpakaian seperti ini, Nasrudin? Apa ada yang meninggal."
"Yah," kata sang Mullah, "Bisa saja terjadi tanpa kita diberi tahu."
"Yah," kata sang Mullah, "Bisa saja terjadi tanpa kita diberi tahu."
PADA SEBUAH KAPAL
Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.
"Teman-teman!" teriak Nasrudin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"
"Teman-teman!" teriak Nasrudin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"
JATUH KE KOLAM
Nasrudin hampir terjatuh ke kolam. Tapi orang yang tidak terlalu dikenal berada di dekatnya, dan kemudian menolongnya pada saat yang tepat. Namun setelah itu, setiap kali bertemu Nasrudin orang itu selalu membicarakan peristiwa itu, dan membuat Nasrudin berterima kasih berulang-ulang.
Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi. Nasrudin mengajaknya ke lokasi, dan kali ini Nasrudin langsung melompat ke air.
"Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi sana!"
Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi. Nasrudin mengajaknya ke lokasi, dan kali ini Nasrudin langsung melompat ke air.
"Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi sana!"
MENJUAL TANGGA
Nasrudin mengambil tangganya dan menggunakannya untuk naik ke pohon tetangganya. Tetapi sang tetangga memergokinya.
"Sedang apa kau, Nasrudin ?"
Nasrudin berimprovisasi, "Aku ... punya sebuah tangga yang bagus, dan sedang aku jual."
"Dasar bodoh. Pohon itu bukan tempat menjual tangga!" kata sang tetangga, marah.
Nasrudin bergaya filosof. "Tangga, bisa dijual di mana saja."
"Sedang apa kau, Nasrudin ?"
Nasrudin berimprovisasi, "Aku ... punya sebuah tangga yang bagus, dan sedang aku jual."
"Dasar bodoh. Pohon itu bukan tempat menjual tangga!" kata sang tetangga, marah.
Nasrudin bergaya filosof. "Tangga, bisa dijual di mana saja."
BAJU DAN KUDA: SALAH ORIENTASI
Nasrudin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Nasrudin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih cepat.
"Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," ujar Nasrudin ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya.
Sampai rumah, Nasrudin tetap kering.
"Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah, "Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!"
"Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju."
"Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," ujar Nasrudin ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya.
Sampai rumah, Nasrudin tetap kering.
"Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah, "Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!"
"Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju."
NASIB DAN ASUMSI
"Apa artinya nasib, Mullah ?"
"Asumsi-asumsi."
"Bagaimana ?"
"Begini. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik, tetapi kenyataannya tidak begitu. Nah itu yang disebut nasib buruk. Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi buruk, tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya. Engkau punya asumsi bahwa sesuatu akan terjadi atau tidak terjadi, kemudian engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau terperangkap di dalamnya, maka engkau namakan itu nasib."
"Asumsi-asumsi."
"Bagaimana ?"
"Begini. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik, tetapi kenyataannya tidak begitu. Nah itu yang disebut nasib buruk. Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi buruk, tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya. Engkau punya asumsi bahwa sesuatu akan terjadi atau tidak terjadi, kemudian engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau terperangkap di dalamnya, maka engkau namakan itu nasib."
BELAJAR KEBIJAKSANAAN
Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin. Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan melihat perilakunya.
Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin.
Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sonya.
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin.
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
Ah, konsistensi.
Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin.
Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sonya.
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin.
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
Ah, konsistensi.
MIMPI RELIJIUS
Nasrudin sedang dalam perjalanan dengan pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling relijius. Tidurlah mereka.
Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: "Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa sekali."
Yogi menukas, "Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai."
Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga."
Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: "Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa sekali."
Yogi menukas, "Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai."
Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga."
TAMPAK SEPERTI WUJUDMU
Nasrudin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya.
"Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu.
Segala yang tampak oleh mataku.
Tampak seperti wujud-Mu."
Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang jelek dan dungu lewat di depan matamu ?"
Nasrudin berbalik, menatapnya, dan menjawab dengan konsisten:
"Tampak seperti wujudmu."
"Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu.
Segala yang tampak oleh mataku.
Tampak seperti wujud-Mu."
Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang jelek dan dungu lewat di depan matamu ?"
Nasrudin berbalik, menatapnya, dan menjawab dengan konsisten:
"Tampak seperti wujudmu."
YANG BENAR-BENAR BENAR
Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
"Aku rasa engkau benar."
Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:
"Aku rasa engkau benar."
API !
Hari Jum`at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,
"Api ! Api ! Api !"
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
"Dimana apinya, Mullah ?"
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."
"Api ! Api ! Api !"
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,
"Dimana apinya, Mullah ?"
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."
PERUSUH RAKYAT
Kebetulan Nasrudin sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Nasrudin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah.
"Menjauhlah engkau, hai mullah!" teriak pengawal. [Nasrudin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya]
"Mengapa ?" tanya Nasrudin.
"Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah !"
"Tapi mengapa rakyat harus menjauh ?"
"Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah !"
"Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana ?" kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya.
"Menjauhlah engkau, hai mullah!" teriak pengawal. [Nasrudin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya]
"Mengapa ?" tanya Nasrudin.
"Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah !"
"Tapi mengapa rakyat harus menjauh ?"
"Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah !"
"Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana ?" kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya.
TEORI KEBUTUHAN
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."
"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar