Lambang Kesultanan Deli |
1. Sejarah
Riwayat Kesultanan Deli dan Serdang terkait erat dengan masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam pada era pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Aceh Darussalam memulai ekspansinya pada tahun 1612 dengan menyerbu kota-kota di sepanjang Pantai Timur Sumatra (Denys Lombard, 2007:134). Bandar Deli dapat dikuasai hanya dalam waktu enam minggu, sementara Kerajaan Aru menyerah pada awal tahun 1613 Masehi. Dalam beberapa sumber lain, Kerajaan Aru yang terletak di Sumatra Timur disebut dengan nama Kerajaan Haru, semisal dalam karya-karya Tuanku Luckman Sinar Basarshah II yang juga sering menulis tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur.
Operasi penaklukan Aceh Darussalam itu dipimpin oleh Muhammad Dalik yang bergelar Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Panglima Aceh Darussalam ini adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari India yang menikahi Putri Chandra Dewi, anak perempuan Sultan Samudera Pasai. Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, yang mempunyai panggilan kebesaran Laksamana Kuda Bintan, juga diyakini memimpin pasukan Aceh Darussalam melawan Portugis pada 1629 Masehi dan kemudian menaklukkan Pahang (1617), Kedah (1620), dan Nias (1624), serta beberapa daerah lainnya (Tengku Luckman Sinar, 2007:4).
a. Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Pendiri Kesultanan Deli
Sultan Iskandar Muda menganugerahkan wilayah Aru kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai balas jasa. Pada tahun 1632 Masehi, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan diangkat sebagai wakil Sultan Iskandar Muda untuk memimpin bekas wilayah Aru yang berhasil ditundukkan Aceh (Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, 2003:2). Kepentingan Aceh atas pendudukan bekas wilayah Kerajaan Aru antara lain (1) Menghancurkan sisa-sisa perlawanan Kerajaan Aru yang dibantu oleh Portugis; (2) Menyebarkan ajaran Islam ke wilayah pedalaman; dan (3) Mengatur pemerintahan yang menjadi bagian dari Aceh Darussalam (Basarshah II, tanpa tahun: 49).
Tidak lama setelah diangkat sebagai penguasa wilayah Aru mewakili Sultan Aceh, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan ditetapkan oleh empat raja di urung (negeri) Batak Karo sebagai Datuk Tunggal atau Ulon Janji, yakni jabatan yang mempunyai kewenangan setara dengan kedudukan perdana menteri atau patih (Basarshah II, tanpa tahun: 50). Dalam penobatan tersebut diucapkan sumpah taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Pada waktu yang sama, juga telah dibentuk Lembaga Datuk Berempat yang berfungsi sebagai dewan penasehat pemerintahan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Keempat Raja Batak Karo menjadi anggota dari lembaga ini.
Riwayat Kesultanan Deli dan Serdang terkait erat dengan masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam pada era pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Aceh Darussalam memulai ekspansinya pada tahun 1612 dengan menyerbu kota-kota di sepanjang Pantai Timur Sumatra (Denys Lombard, 2007:134). Bandar Deli dapat dikuasai hanya dalam waktu enam minggu, sementara Kerajaan Aru menyerah pada awal tahun 1613 Masehi. Dalam beberapa sumber lain, Kerajaan Aru yang terletak di Sumatra Timur disebut dengan nama Kerajaan Haru, semisal dalam karya-karya Tuanku Luckman Sinar Basarshah II yang juga sering menulis tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur.
Operasi penaklukan Aceh Darussalam itu dipimpin oleh Muhammad Dalik yang bergelar Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Panglima Aceh Darussalam ini adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari India yang menikahi Putri Chandra Dewi, anak perempuan Sultan Samudera Pasai. Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, yang mempunyai panggilan kebesaran Laksamana Kuda Bintan, juga diyakini memimpin pasukan Aceh Darussalam melawan Portugis pada 1629 Masehi dan kemudian menaklukkan Pahang (1617), Kedah (1620), dan Nias (1624), serta beberapa daerah lainnya (Tengku Luckman Sinar, 2007:4).
a. Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Pendiri Kesultanan Deli
Sultan Iskandar Muda menganugerahkan wilayah Aru kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan sebagai balas jasa. Pada tahun 1632 Masehi, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan diangkat sebagai wakil Sultan Iskandar Muda untuk memimpin bekas wilayah Aru yang berhasil ditundukkan Aceh (Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, 2003:2). Kepentingan Aceh atas pendudukan bekas wilayah Kerajaan Aru antara lain (1) Menghancurkan sisa-sisa perlawanan Kerajaan Aru yang dibantu oleh Portugis; (2) Menyebarkan ajaran Islam ke wilayah pedalaman; dan (3) Mengatur pemerintahan yang menjadi bagian dari Aceh Darussalam (Basarshah II, tanpa tahun: 49).
Tidak lama setelah diangkat sebagai penguasa wilayah Aru mewakili Sultan Aceh, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan ditetapkan oleh empat raja di urung (negeri) Batak Karo sebagai Datuk Tunggal atau Ulon Janji, yakni jabatan yang mempunyai kewenangan setara dengan kedudukan perdana menteri atau patih (Basarshah II, tanpa tahun: 50). Dalam penobatan tersebut diucapkan sumpah taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Pada waktu yang sama, juga telah dibentuk Lembaga Datuk Berempat yang berfungsi sebagai dewan penasehat pemerintahan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Keempat Raja Batak Karo menjadi anggota dari lembaga ini.
Keempat Raja Batak Karo tersebut adalah pemimpin dari empat kerajaan di wilayah Batak Karo yang sudah diislamkan dan ditundukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dalam penaklukan yang dipimpin Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Salah satu dari empat Raja Batak Karo itu adalah Raja Urung Sunggal yang juga bapak mertua dari Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan. Pada 1632 Masehi, Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan menikahi anak perempuan Raja Urung Sunggal, bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti.
Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan wafat pada 1641 Masehi, dan kekuasaan atas Deli diwariskan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit bergelar Panglima Deli. Sementara itu, Sultan Iskandar Muda telah terlebih dulu meninggal dunia pada tahun 1636 Masehi di Aceh. Kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam diteruskan oleh menantu Sultan Iskandar Muda, yakni Sultan Iskandar Thani yang bertahta sampai tahun 1641 (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1982:70).
Aceh Darussalam melemah sepeninggal Sultan Iskandar Thani. Pengganti Sultan Iskandar Thani adalah istrinya yang juga putri Sultan Iskandar Muda, yaitu Sultanah Safi al-Din Taj al-Alam (Puteri Sri Alam). Kelabilan Aceh pascawafatnya Sultan Iskandar Thani dimanfaatkan oleh Tuanku Panglima Perunggit. Tahun 1669, Tuanku Panglima Perunggit memproklamirkan bahwa Deli merdeka dari Kesultanan Aceh Darussalam dan menjalin hubungan dengan Belanda di Malaka (Basarshah II, tanpa tahun: 50). Dengan demikian, Kesultanan Deli resmi berdiri sebagai pemerintahan sendiri yang berdaulat dengan ibu kota di Labuhan, berjarak kira-kira 20 kilometer dari Medan, ibu kota Provinsi Sumatra Utara sekarang.
Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan wafat pada 1641 Masehi, dan kekuasaan atas Deli diwariskan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit bergelar Panglima Deli. Sementara itu, Sultan Iskandar Muda telah terlebih dulu meninggal dunia pada tahun 1636 Masehi di Aceh. Kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam diteruskan oleh menantu Sultan Iskandar Muda, yakni Sultan Iskandar Thani yang bertahta sampai tahun 1641 (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1982:70).
Aceh Darussalam melemah sepeninggal Sultan Iskandar Thani. Pengganti Sultan Iskandar Thani adalah istrinya yang juga putri Sultan Iskandar Muda, yaitu Sultanah Safi al-Din Taj al-Alam (Puteri Sri Alam). Kelabilan Aceh pascawafatnya Sultan Iskandar Thani dimanfaatkan oleh Tuanku Panglima Perunggit. Tahun 1669, Tuanku Panglima Perunggit memproklamirkan bahwa Deli merdeka dari Kesultanan Aceh Darussalam dan menjalin hubungan dengan Belanda di Malaka (Basarshah II, tanpa tahun: 50). Dengan demikian, Kesultanan Deli resmi berdiri sebagai pemerintahan sendiri yang berdaulat dengan ibu kota di Labuhan, berjarak kira-kira 20 kilometer dari Medan, ibu kota Provinsi Sumatra Utara sekarang.
Labuhan, Pusat Pemerintahan Kesultanan Deli yang Pertama |
Nama Deli sendiri sebenarnya telah tercantum dalam arsip VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Malaka, yakni dalam catatan bulan April 1641. Tahun 1641 adalah waktu di mana Belanda berhasil merebut Malaka dari Portugis. Dalam catatan itu tertulis bahwa menurut laporan Laksamana Johor, angkatan perang Aceh telah berkumpul di Kuala Deli. Saat itu Kesultanan Aceh Darussalam memang sedang bertikai dengan Kesultanan Johor yang sebelumnya dibantu Portugis dan kemudian Belanda (Basarshah II, tanpa tahun: 51).
Arsip Belanda lainnya yang menyebut nama Deli adalah catatan bertanggal 9 September 1641 yang berisi surat Sultanah Safi al-Din Taj al-Alam kepada Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (1636-1645) di Batavia. Dalam suratnya, Sultanah Aceh Darussalam itu menyatakan bahwa Belanda boleh berdagang sampai ke Deli dan Besitang. Diberitakan lagi, menurut catatan VOC bulan Oktober 1644, seorang penguasa di Deli yang bergelar Panglima Deli telah mengirim surat dan hadiah kepada Belanda di Malaka, tetapi rombongan utusan Deli itu dirampok di dekat Sungai Penaji, kawasan Malaka (Basarshah II, tanpa tahun: 51).
b. Perpecahan Keluarga Kesultanan Deli
Sultan Deli penerus Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Tuanku Panglima Perunggit alias Panglima Deli, wafat pada tahun 1700 Masehi. Penerus tahta Kesultanan Deli berikutnya adalah Tuanku Panglima Paderap yang memerintah hingga wafatnya pada tahun 1720 M. Kesultanan Deli diguncang perpecahan internal tidak lama setelah Tuanku Panglima Paderap meninggal dunia. Anak-anak Tuanku Panglima Paderap meributkan soal siapa yang berhak menduduki posisi sebagai Sultan Deli berikutnya.
Dalam buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur yang disusun Tuanku Luckman Sinar Basarshah II disebutkan bahwa Tuanku Panglima Paderap mempunyai empat orang anak, yaitu (1) Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari keturunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tanjung Mulia; (2) Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari keturunan bangsawan Deli dan Bedagai; (3) Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, berasal dari keturunan bangsawan Denao dan Serbajadi; dan (4) Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari keturunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan (Basarshah II, tanpa tahun: 52).
Meski berstatus sebagai anak tertua, namun Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar dikesampingkan dari kandidat calon pemangku tahta Kesultanan Deli karena yang bersangkutan mempunyai cacat mata. Keadaan ini membuat Tuanku Panglima Pasutan, putra kedua almarhum Tuanku Panglima Paderap, berkehendak mengambil-alih tahta meski sebenarnya yang paling berhak memangku jabatan sebagai penerus kepemimpinan Kesultanan Deli adalah Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (putra keempat) karena dilahirkan dari permaisuri. Terjadilah perang saudara di antara kedua putra almarhum Tuanku Panglima Paderap untuk memperebutkan tahta Deli. Sedangkan Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun memilih menghindar dari peperangan di antara kedua saudaranya itu dengan menyingkir dan membuka negeri di Denai yang meluas hingga ke Serbajadi.
Dalam perang saudara yang memuncak pada tahun 1732 itu, Tuanku Panglima Pasutan berhasil mengusir Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan ke luar istana Kesultanan Deli. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan bersama ibundanya, Tuanku Puan Sampali (permaisuri almarhum Tuanku Panglima Paderap), terpaksa berlindung ke daerah lain hingga akhirnya sampai di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Kampung Besar (Serdang). Dengan keluarnya Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dari istana, maka Tuanku Panglima Pasutan leluasa untuk mendeklarasikan diri sebagai Sultan Deli yang baru.
Sementara itu, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan tidak tinggal diam dan bersiap-siap mendirikan Kesultanan Serdang. Pendirian Kesultanan Serdang dapat terwujud karena dukungan yang kuat kepada Tuanku Umar Johan Alamsyah, terutama dari dua orang Raja Batak Karo, yakni Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah. Selain itu, Raja Urung Batak Timur yang menguasai wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan seorang pembesar dari Aceh bernama Kejeruan Lumu, turut menyokong berdirinya Kesultanan Serdang. Akhirnya, pada tahun 1723 Masehi, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dinobatkan sebagai Sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan Serdang (Basarshah II, tanpa tahun: 55). Putra ketiga almarhum Tuanku Panglima Paderap, Tuanku Tawar (Arifin) Kejeruan Santun, yang mendirikan negeri di Denai, kemudian menggabungkan wilayahnya dengan wilayah Kesultanan Serdang.
Kondisi internal pemerintahan Deli yang belum stabil membuat kesultanan menjadi incaran sejumlah kerajaan besar yang sedang berebut pengaruh. Kerajaan-kerajaan yang berupaya menguasai Deli tersebut antara lain Kesultanan Siak Sri Inderapura, Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh Darussalam yang rupa-rupanya masih menginginkan Deli menjadi wilayah jajahannya kembali (Dada Meuraxa, 1956:24).
Wilayah Deli dirasa sangat menguntungkan terutama karena faktor kandungan sumber daya alamnya. Deli mashyur dengan hasil minyak wangi, kayu cendana, dan kapur barus. Selain itu, orang Belanda mendatangkan beras, lilin, dan kuda dari Deli (Tengku Luckman Sinar dalam Rogayah A. Hamid, et.al., 2006:435). Oleh sebab itulah, Belanda merasa perlu memelihara hubungan baik dengan pihak penguasa Deli karena Belanda juga mendatangkan tekstil dari Deli.
Tuanku Panglima Pasutan atau Sultan Deli yang ke-4 wafat pada tahun 1761. Pemerintahan Kesultanan Deli diteruskan oleh Kanduhid yang bergelar Panglima Gandar Wahid. Pada tahun 1805, Panglima Gandar Wahid meninggal dunia dan digantikan oleh Tuanku Amaluddin. Karena saat itu Kesultanan Deli masih berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura, maka penobatan Tuanku Amaluddin sebagai Sultan Deli pun berdasarkan akte Sultan Siak tanggal 8 Agustus 1814 (Basarshah II, tanpa tahun: 52). Setelah resmi menjadi Sultan Deli, Tuanku Amaludin memperoleh nama kehormatan yakni dengan gelar Sultan Panglima Mangedar Alam.
Meuraxa dalam buku Sekitar Suku Melaju, Batak, Atjeh, dan Keradjaan Deli (1956) menulis bahwa tahun 1669 wilayah Kesultanan Deli direbut Kesultanan Siak Sri Inderapura dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, ketika Kesultanan Siak Sri Inderapura takluk kepada Kesultanan Johor, wilayah Kesultanan Deli pun berada di bawah kekuasaan Johor.
Tahun 1854, Kesultanan Deli kembali dikuasai Kesultanan Aceh Darussalam, dipimpin oleh panglima yang bernama Teuku Husin. Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858), Sultan Deli waktu itu, dibawa ke Istana Aceh Darussalam. Namun kemudian Kesultanan Deli diakui kembali berdiri sendiri di bawah naungan Kesultanan Aceh Darussalam yang waktu itu diperintah oleh Sultan Sulaiman Syah (1838-1857). Oleh Aceh Darussalam, wilayah Kesultanan Deli ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga perbatasan Tamiang (Meuraxa, 1956:25).
Arsip Belanda lainnya yang menyebut nama Deli adalah catatan bertanggal 9 September 1641 yang berisi surat Sultanah Safi al-Din Taj al-Alam kepada Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (1636-1645) di Batavia. Dalam suratnya, Sultanah Aceh Darussalam itu menyatakan bahwa Belanda boleh berdagang sampai ke Deli dan Besitang. Diberitakan lagi, menurut catatan VOC bulan Oktober 1644, seorang penguasa di Deli yang bergelar Panglima Deli telah mengirim surat dan hadiah kepada Belanda di Malaka, tetapi rombongan utusan Deli itu dirampok di dekat Sungai Penaji, kawasan Malaka (Basarshah II, tanpa tahun: 51).
b. Perpecahan Keluarga Kesultanan Deli
Sultan Deli penerus Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Tuanku Panglima Perunggit alias Panglima Deli, wafat pada tahun 1700 Masehi. Penerus tahta Kesultanan Deli berikutnya adalah Tuanku Panglima Paderap yang memerintah hingga wafatnya pada tahun 1720 M. Kesultanan Deli diguncang perpecahan internal tidak lama setelah Tuanku Panglima Paderap meninggal dunia. Anak-anak Tuanku Panglima Paderap meributkan soal siapa yang berhak menduduki posisi sebagai Sultan Deli berikutnya.
Dalam buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur yang disusun Tuanku Luckman Sinar Basarshah II disebutkan bahwa Tuanku Panglima Paderap mempunyai empat orang anak, yaitu (1) Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar, berasal dari keturunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tanjung Mulia; (2) Tuanku Panglima Pasutan, berasal dari keturunan bangsawan Deli dan Bedagai; (3) Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun, berasal dari keturunan bangsawan Denao dan Serbajadi; dan (4) Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari keturunan bangsawan Serdang dan Sei Tuan (Basarshah II, tanpa tahun: 52).
Meski berstatus sebagai anak tertua, namun Tuanku Jalaludin Gelar Kejuruan Metar dikesampingkan dari kandidat calon pemangku tahta Kesultanan Deli karena yang bersangkutan mempunyai cacat mata. Keadaan ini membuat Tuanku Panglima Pasutan, putra kedua almarhum Tuanku Panglima Paderap, berkehendak mengambil-alih tahta meski sebenarnya yang paling berhak memangku jabatan sebagai penerus kepemimpinan Kesultanan Deli adalah Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan (putra keempat) karena dilahirkan dari permaisuri. Terjadilah perang saudara di antara kedua putra almarhum Tuanku Panglima Paderap untuk memperebutkan tahta Deli. Sedangkan Tuanku Tawar (Arifin) Gelar Kejuruan Santun memilih menghindar dari peperangan di antara kedua saudaranya itu dengan menyingkir dan membuka negeri di Denai yang meluas hingga ke Serbajadi.
Dalam perang saudara yang memuncak pada tahun 1732 itu, Tuanku Panglima Pasutan berhasil mengusir Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan ke luar istana Kesultanan Deli. Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan bersama ibundanya, Tuanku Puan Sampali (permaisuri almarhum Tuanku Panglima Paderap), terpaksa berlindung ke daerah lain hingga akhirnya sampai di sebuah tempat yang kemudian dinamakan Kampung Besar (Serdang). Dengan keluarnya Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dari istana, maka Tuanku Panglima Pasutan leluasa untuk mendeklarasikan diri sebagai Sultan Deli yang baru.
Sementara itu, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan tidak tinggal diam dan bersiap-siap mendirikan Kesultanan Serdang. Pendirian Kesultanan Serdang dapat terwujud karena dukungan yang kuat kepada Tuanku Umar Johan Alamsyah, terutama dari dua orang Raja Batak Karo, yakni Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembah. Selain itu, Raja Urung Batak Timur yang menguasai wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan seorang pembesar dari Aceh bernama Kejeruan Lumu, turut menyokong berdirinya Kesultanan Serdang. Akhirnya, pada tahun 1723 Masehi, Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan dinobatkan sebagai Sultan pertama sekaligus pendiri Kesultanan Serdang (Basarshah II, tanpa tahun: 55). Putra ketiga almarhum Tuanku Panglima Paderap, Tuanku Tawar (Arifin) Kejeruan Santun, yang mendirikan negeri di Denai, kemudian menggabungkan wilayahnya dengan wilayah Kesultanan Serdang.
Kondisi internal pemerintahan Deli yang belum stabil membuat kesultanan menjadi incaran sejumlah kerajaan besar yang sedang berebut pengaruh. Kerajaan-kerajaan yang berupaya menguasai Deli tersebut antara lain Kesultanan Siak Sri Inderapura, Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh Darussalam yang rupa-rupanya masih menginginkan Deli menjadi wilayah jajahannya kembali (Dada Meuraxa, 1956:24).
Wilayah Deli dirasa sangat menguntungkan terutama karena faktor kandungan sumber daya alamnya. Deli mashyur dengan hasil minyak wangi, kayu cendana, dan kapur barus. Selain itu, orang Belanda mendatangkan beras, lilin, dan kuda dari Deli (Tengku Luckman Sinar dalam Rogayah A. Hamid, et.al., 2006:435). Oleh sebab itulah, Belanda merasa perlu memelihara hubungan baik dengan pihak penguasa Deli karena Belanda juga mendatangkan tekstil dari Deli.
Tuanku Panglima Pasutan atau Sultan Deli yang ke-4 wafat pada tahun 1761. Pemerintahan Kesultanan Deli diteruskan oleh Kanduhid yang bergelar Panglima Gandar Wahid. Pada tahun 1805, Panglima Gandar Wahid meninggal dunia dan digantikan oleh Tuanku Amaluddin. Karena saat itu Kesultanan Deli masih berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura, maka penobatan Tuanku Amaluddin sebagai Sultan Deli pun berdasarkan akte Sultan Siak tanggal 8 Agustus 1814 (Basarshah II, tanpa tahun: 52). Setelah resmi menjadi Sultan Deli, Tuanku Amaludin memperoleh nama kehormatan yakni dengan gelar Sultan Panglima Mangedar Alam.
Meuraxa dalam buku Sekitar Suku Melaju, Batak, Atjeh, dan Keradjaan Deli (1956) menulis bahwa tahun 1669 wilayah Kesultanan Deli direbut Kesultanan Siak Sri Inderapura dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, ketika Kesultanan Siak Sri Inderapura takluk kepada Kesultanan Johor, wilayah Kesultanan Deli pun berada di bawah kekuasaan Johor.
Tahun 1854, Kesultanan Deli kembali dikuasai Kesultanan Aceh Darussalam, dipimpin oleh panglima yang bernama Teuku Husin. Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858), Sultan Deli waktu itu, dibawa ke Istana Aceh Darussalam. Namun kemudian Kesultanan Deli diakui kembali berdiri sendiri di bawah naungan Kesultanan Aceh Darussalam yang waktu itu diperintah oleh Sultan Sulaiman Syah (1838-1857). Oleh Aceh Darussalam, wilayah Kesultanan Deli ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga perbatasan Tamiang (Meuraxa, 1956:25).
Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1873-1924), Diabadikan dalam Motif Perangko |
c. Eksistensi Kesultanan Deli
Perang saudara yang terjadi antara Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang baru berakhir pada awal abad ke-20 setelah adanya tekanan dari Belanda (Sinar, 2007:24). Hubungan antara Kesultanan Deli dengan Belanda sendiri berjalan cukup selaras karena antara Belanda dan Deli ternyata saling membutuhkan: Belanda mendatangkan berbagai jenis sumber daya alam dari Deli, sedangkan Deli membutuhkan jaminan keamanan.
“Keharmonisan” antara Kesultanan Deli dan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kental pada masa ketika Deli berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura. Sepanjang Agustus 1862, Elisa Netscher yang menjabat sebagai Residen Riau, diiringi oleh Asisten Residen Siak dan para pembesar dari Kesultanan Siak, melakukan perjalanan ke negeri-negeri di Sumatra Timur. Perjalanan ini dilakukan atas permintaan dari pihak Kesultanan Siak karena beberapa kerajaan di Sumatra Timur enggan mengakui kekuasaan Siak atas negeri-negeri itu, termasuk Deli. Negeri-negeri di Sumatra Timur itu cenderung mendekat kepada Kesultanan Aceh karena Siak dianggap telalu lemah.
Tanggal 21 Agustus 1862, rombongan Elisa Netscher memasuki Kuala Sungai Deli dan disambut Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Kepada rombongan tamu tersebut, Sultan Deli mengatakan bahwa Kesultanan Deli tidak bersangkut-paut lagi dengan Kesultanan Siak dan tidak meminta pengakuan dari siapapun. Namun, Netscher tetap membujuk agar pengaruh Siak Sri Inderapura atas Deli tidak hilang dengan menyatakan bahwa “Deli mengikut pada Negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Hindia Belanda” (Sinar, 2007:28). Sejak saat itu, pemerintahan Kesultanan Deli terikat kontrak politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Rezim pemerintahan Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah berakhir pada tahun 1873 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Pada masa kepemimpinan Sultan Deli yang ke-9 ini, Kesultanan Deli mengalami masa-masa kemakmuran, yang terutama diperoleh dari sektor perkebunan tembakau. Kala itu, banyak pengusaha-pengusaha asing yang membuka perkebunan tembakau di tanah Deli. Pada tahun 1872, di Deli sudah beroperasi 13 perkebunan milik asing yang tentu saja menguntungkan Kesultanan Deli dari segi pemasukan finansial. Tanah Deli cocok untuk ditanami tembakau dan menghasilkan tembakau dengan mutu kelas dunia. Pasaran tembakau saat itu sangat laku di pasar Eropa sebagai bahan pembuat cerutu.
Ketika Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah mulai menduduki singgasana Kesultanan Deli pada tahun 1873, jumlah perkebunan tembakau di Deli sudah bertambah menjadi 44 perkebunan. Hasil panen tembakau yang dituai setahun berikutnya mencapai 125.000 pak sehingga menjadikan Deli sebagai salah satu produsen tembakau terbesar di dunia dan nama Amsterdam juga ikut terangkat sebagai pasar tembakau terbesar di dunia. Pembayaran pembukaan perkebunan dan uang sewa tanah dari para pengusaha asing membuat Sultan Deli jadi kaya-raya.
Di masa inilah Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah membangun sejumlah simbol kejayaan Kesultanan Deli, antara lain Kampong Bahari (Labuhan) pada 1886, Istana Agung Maimoon pada 1888 (Sinar, 2007:100). Pengganti Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah, yaitu Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah yang bertahta sejak tahun 1873, melanjutkan pembangunan simbol-simbol kebesaran Kesultanan Deli dengan mendirikan gedung Mahkamah Kerapatan Besar pada 1903 dan Masjid Raya Al Mansun pada 1906. Istana Maimoon sendiri dibangun di tempat yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Kota Medan dan mulai dihuni Sultan beserta keluarga Kesultanan Deli sejak 18 Mei 1891. Sebelumnya, Sultan dan keluarga Kesultanan Deli tinggal di Istana Kampong Bahari di Labuhan. Adapun arsitek pembangunan Istana Maimoon adalah seorang tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger, Tentara Kolonial Hindia Belanda) bernama Kapten Th. van Erp. (Sinar, 2007:102).
Perang saudara yang terjadi antara Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang baru berakhir pada awal abad ke-20 setelah adanya tekanan dari Belanda (Sinar, 2007:24). Hubungan antara Kesultanan Deli dengan Belanda sendiri berjalan cukup selaras karena antara Belanda dan Deli ternyata saling membutuhkan: Belanda mendatangkan berbagai jenis sumber daya alam dari Deli, sedangkan Deli membutuhkan jaminan keamanan.
“Keharmonisan” antara Kesultanan Deli dan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kental pada masa ketika Deli berada di bawah pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura. Sepanjang Agustus 1862, Elisa Netscher yang menjabat sebagai Residen Riau, diiringi oleh Asisten Residen Siak dan para pembesar dari Kesultanan Siak, melakukan perjalanan ke negeri-negeri di Sumatra Timur. Perjalanan ini dilakukan atas permintaan dari pihak Kesultanan Siak karena beberapa kerajaan di Sumatra Timur enggan mengakui kekuasaan Siak atas negeri-negeri itu, termasuk Deli. Negeri-negeri di Sumatra Timur itu cenderung mendekat kepada Kesultanan Aceh karena Siak dianggap telalu lemah.
Tanggal 21 Agustus 1862, rombongan Elisa Netscher memasuki Kuala Sungai Deli dan disambut Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Kepada rombongan tamu tersebut, Sultan Deli mengatakan bahwa Kesultanan Deli tidak bersangkut-paut lagi dengan Kesultanan Siak dan tidak meminta pengakuan dari siapapun. Namun, Netscher tetap membujuk agar pengaruh Siak Sri Inderapura atas Deli tidak hilang dengan menyatakan bahwa “Deli mengikut pada Negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Hindia Belanda” (Sinar, 2007:28). Sejak saat itu, pemerintahan Kesultanan Deli terikat kontrak politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Rezim pemerintahan Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah berakhir pada tahun 1873 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah. Pada masa kepemimpinan Sultan Deli yang ke-9 ini, Kesultanan Deli mengalami masa-masa kemakmuran, yang terutama diperoleh dari sektor perkebunan tembakau. Kala itu, banyak pengusaha-pengusaha asing yang membuka perkebunan tembakau di tanah Deli. Pada tahun 1872, di Deli sudah beroperasi 13 perkebunan milik asing yang tentu saja menguntungkan Kesultanan Deli dari segi pemasukan finansial. Tanah Deli cocok untuk ditanami tembakau dan menghasilkan tembakau dengan mutu kelas dunia. Pasaran tembakau saat itu sangat laku di pasar Eropa sebagai bahan pembuat cerutu.
Ketika Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah mulai menduduki singgasana Kesultanan Deli pada tahun 1873, jumlah perkebunan tembakau di Deli sudah bertambah menjadi 44 perkebunan. Hasil panen tembakau yang dituai setahun berikutnya mencapai 125.000 pak sehingga menjadikan Deli sebagai salah satu produsen tembakau terbesar di dunia dan nama Amsterdam juga ikut terangkat sebagai pasar tembakau terbesar di dunia. Pembayaran pembukaan perkebunan dan uang sewa tanah dari para pengusaha asing membuat Sultan Deli jadi kaya-raya.
Di masa inilah Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah membangun sejumlah simbol kejayaan Kesultanan Deli, antara lain Kampong Bahari (Labuhan) pada 1886, Istana Agung Maimoon pada 1888 (Sinar, 2007:100). Pengganti Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah, yaitu Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah yang bertahta sejak tahun 1873, melanjutkan pembangunan simbol-simbol kebesaran Kesultanan Deli dengan mendirikan gedung Mahkamah Kerapatan Besar pada 1903 dan Masjid Raya Al Mansun pada 1906. Istana Maimoon sendiri dibangun di tempat yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Kota Medan dan mulai dihuni Sultan beserta keluarga Kesultanan Deli sejak 18 Mei 1891. Sebelumnya, Sultan dan keluarga Kesultanan Deli tinggal di Istana Kampong Bahari di Labuhan. Adapun arsitek pembangunan Istana Maimoon adalah seorang tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsche Indische Leger, Tentara Kolonial Hindia Belanda) bernama Kapten Th. van Erp. (Sinar, 2007:102).
Istana Maimoon, Simbol Kemakmuran Kesultanan Deli |
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan berlanjut dengan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tahun 1949, Kesultanan Deli yang semula termasuk ke dalam wilayah Sumatra Timur, sejak tahun 1950 dilebur ke dalam Provinsi Sumatra Utara hingga kini. Di sisi lain, di masa itu situasi Deli khususnya dan Sumatra Utara pada umumnya belum juga berada dalam kondisi yang benar-benar damai. Keluarga-keluarga kerajaan di Sumatra Utara, termasuk keluarga Kesultanan Deli, terancam keselamatannya karena mendapat tentangan dari pihak-pihak yang menyatakan antikaum bangsawan. Keluarga kerajaan waktu itu dianggap sebagai antek Belanda dan termasuk ke dalam golongan feodal.
Masih dalam buku yang sama, Tengku Luckman Sinar juga menulis bahwa hasutan-hasutan pemberontakan itu sudah dihembuskan sejak bulan Juni 1942 pada era pendudukan Jepang di Indonesia. Saat dimulainya pemberontakan ialah tatkala kaum tani memulai panen padi yang dilakukan secara gotong royong dan diakhiri dengan pesta panen (Sinar, 2007:121).
Aksi kekerasan terhadap kaum bangsawan mencapai puncaknya ketika terjadi peristiwa berdarah yang dikenal dengan nama Revolusi Sosial 1946. Banyak raja dan keluarga istana di Sumatra Utara yang dibunuh dan harta-bendanya dirampas, termasuklah penyair Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit. Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang selamat berkat penjagaan dari tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang (www.kesultananasahan.com). Setelah tragedi Revolusi Sosial 1946 berakhir, keluarga dan ahli waris Kesultanan Deli menempati Istana Maimoon sebagai tempat tinggal karena hampir semua istana yang ada di sana sudah hancur dibakar massa. Istana Maimoon merupakan satu-satunya istana yang tersisa karena pada saat terjadinya Revolusi Sosial dijaga ketat oleh tentara Sekutu.
Pada masa kemerdekaan, masa Revolusi Fisik, dan masa-masa selanjutnya, Kesultanan Deli masih tetap eksis kendati tidak lagi memiliki kewenangan politik karena telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memasuki era Orde Baru, Kesultanan Deli dipimpin oleh Sultan Azmy Perkasa Alam Alhaj yang bertahta dari tahun 1967 sampai dengan 1998. Sejak 5 Mei 1998, yang menjabat sebagai pemangku Kesultanan Deli adalah Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam. Namun, Sultan Deli ke-13 yang berpangkat letnan kolonel ini meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Angkatan Darat CN 235 yang terjadi di Lapangan Udara Malikus Saleh, Lhokseumawe, Aceh, pada tanggal 21 Juli 2005. Sebagai penggantinya, pada tanggal 22 Juli 2005 putra mahkota Deli dengan gelar Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam dinobatkan sebagai Sultan Deli yang ke-14.
2. Silsilah Raja-Raja
Berikut nama para pemimpin Kesultanan Deli sejak awal berdirinya hingga sekarang:
Berikut nama para pemimpin Kesultanan Deli sejak awal berdirinya hingga sekarang:
- Tuanku Panglima Gocah Pahlawan (1632-1669).
- Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698).
- Tuanku Panglima Paderap (1698-1728).
- Tuanku Panglima Pasutan (1728-1761).
- Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805).
- Sultan Amaluddin Mangendar (1805-1850).
- Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858).
- Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1858-1873).
- Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1873-1924).
- Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam Shah (1924-1945).
- Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam Shah (1945-1967).
- Sultan Azmy Perkasa Alam Alhaj (1967-1998).
- Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam (5 Mei 1998-21 Juli 2005).
- Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam (sejak 22 Juli 2005).
Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam Shah (Sultan Deli ke-10) |
3. Wilayah Kekuasaan
Wilayah yang menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Deli meliputi Labuhan, Langkat, Suka Piring, Buluh Cina, Denai, Serbajadi, dan sejumlah negeri lainnya di sekitar pesisir timur pulau Sumatra. Ketika Kesultanan Aceh Darussalam kembali menguasai Deli pada tahun 1854, Kesultanan Deli dinyatakan berdiri sendiri di bawah kendali Aceh Darussalam dan wilayahnya ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga perbatasan Tamiang (Meuraxa, 1956:25).
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, menurut kontrak politik antara Deli dengan pihak pemerintah kolonial, dirumuskan bahwa wilayah Kesultanan Deli meliputi:
Wilayah yang menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Deli meliputi Labuhan, Langkat, Suka Piring, Buluh Cina, Denai, Serbajadi, dan sejumlah negeri lainnya di sekitar pesisir timur pulau Sumatra. Ketika Kesultanan Aceh Darussalam kembali menguasai Deli pada tahun 1854, Kesultanan Deli dinyatakan berdiri sendiri di bawah kendali Aceh Darussalam dan wilayahnya ditetapkan antara perbatasan Rokan ke selatan hingga perbatasan Tamiang (Meuraxa, 1956:25).
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, menurut kontrak politik antara Deli dengan pihak pemerintah kolonial, dirumuskan bahwa wilayah Kesultanan Deli meliputi:
- Wilayah langsung Sultan (kotapraja).
- Urung (Negeri) XII Kota Hamparan Perak yang dikepalai Datuk Hamparan Perak Setia Diraja.
- Urung Serbanyaman-Sunggal, dikepalai oleh Datuk Sunggal Sri Indera Pahlawan.
- Urung Sukapiring-Kampung Baru, dikepalai oleh Datuk Sukapiring Sri Indera Asmara.
- Urung Senembah-Petumbak, dikepalai oleh Kejeruan Senembah Deli.
- Negeri Percut, dikepalai oleh Kejeruan Percut Paduka Raja.
- Jajahan Negeri Bedagai, dikepalai oleh Pangeran Nara Kelana Raja Bedagai.
- Jajahan Negeri Padang, dikepalai oleh Maharaja Negeri Padang (Sinar, 2007:29-30).
Secara garis besar, wilayah kekuasaan Kesultanan Deli terbagi dua, yakni wilayah Hilir yang didiami suku bangsa Melayu dan sudah memeluk agama Islam, serta wilayah Hulu yang dihuni suku bangsa Karo yang kebanyakan belum memeluk agama Islam atau masih mempercayai keyakinan leluhur.
4. Sistem Pemerintahan
Sejak awal didirikan oleh Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Kesultanan Deli sudah memiliki Lembaga Datuk Berempat yang berfungsi sebagai dewan penasehat pemerintahan. Saat itu, Lembaga Datuk Berempat terdiri dari empat orang Raja Batak Karo yang sejak awal mendukung pendeklarasian Deli sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. Lembaga Datuk Berempat juga mempunyai peran sentral ketika diadakan upacara penobatan Sultan Deli.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Sultan Deli tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala urusan agama dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Dalam menjalankan tugasnya, Sultan Deli dibantu oleh bendahara, syahbandar, serta para abdi kesultanan yang mempunyai peran dan tugas masing-masing.
Pada era kolonial Hindia Belanda, sistem pemerintahan Kesultanan Deli diikat melalui perjanjian politik. Dalam buku Sejarah Medan Tempo Doeloe (2007) yang ditulis Tengku Luckman Sinar disebutkan bahwa perjanjian politik Belanda dan Kesultanan Deli terbagi atas:
Sejak awal didirikan oleh Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Kesultanan Deli sudah memiliki Lembaga Datuk Berempat yang berfungsi sebagai dewan penasehat pemerintahan. Saat itu, Lembaga Datuk Berempat terdiri dari empat orang Raja Batak Karo yang sejak awal mendukung pendeklarasian Deli sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. Lembaga Datuk Berempat juga mempunyai peran sentral ketika diadakan upacara penobatan Sultan Deli.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Sultan Deli tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala urusan agama dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Dalam menjalankan tugasnya, Sultan Deli dibantu oleh bendahara, syahbandar, serta para abdi kesultanan yang mempunyai peran dan tugas masing-masing.
Pada era kolonial Hindia Belanda, sistem pemerintahan Kesultanan Deli diikat melalui perjanjian politik. Dalam buku Sejarah Medan Tempo Doeloe (2007) yang ditulis Tengku Luckman Sinar disebutkan bahwa perjanjian politik Belanda dan Kesultanan Deli terbagi atas:
- Acte van Verband (Akte Pengikat). Dalam akte ini disebutkan bahwa: (1) Sultan Deli bersedia melaksanakan perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Deli, begitu juga penggantinya, (2) Sultan Deli akan taat dan setia kepada Ratu Belanda/Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan melaksanakan pemerintahan di Deli sesuai adat dan peraturan, (3) Sultan Deli bersedia memajukan negeri dan rakyat, serta (4) Sultan Deli bersedia mematuhi syarat-syarat penambahan akte yang belum jelas atau belum tercantum. Akte ini ditandatangani oleh pegawai pemerintahan Belanda dan Orang-Orang Besar Deli sebagai saksi.
- Acte van Bevestiging (Akte Penguatan). Dalam akte ini disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) mengakui Sultan tersebut selaku Raja Deli dan pengakuan ini juga disebutkan dalam Ordonansi Hindia Belanda (Sinar, 2007:29).
Pemerintahan Kesultanan Deli dilaksanakan oleh Sultan Deli bersama-sama dengan Dewan Orang-Orang Besar (sebagai pengganti Lembaga Datuk Berempat) yang terdiri dari empat Urung dan Kejeruan Percut setelah bermusyawarah dan dengan petunjuk dari Residen selaku wakil dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Orang-Orang Besar itu diangkat dan diberhentikan Sultan Deli setelah bermusyawarah dengan Residen dengan memperhatikan aturan adat-istiadat. Selain itu, Residen berhak menghadiri rapat Orang-Orang Besar (Sinar, 2007:30). Kesultanan Deli juga sudah mempunyai beberapa lembaga penting pendukung pemerintahan. Beberapa di antaranya adalah lembaga peradilan atau Kerapatan Besar, Kepolisian Swapraja Deli, dan Peradilan Agama.
Masjid Raya Al Mansun, Dibangun pada Masa Kemakmuran Deli |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar