Rihla, atau karya-karya terkait perjalanan memang biasanya lebih dikategorikan sebagai karya sastra ketimbang karya geografi atau sejarah
Banyak orang yang menyukai perjalanan ke berbagai tempat, tapi tidak semua orang menuangkannya dalam suatu tulisan yang bisa memberi manfaat pada orang lain. Kebanyakan orang hanya berjalan-jalan untuk mengisi waktu libur dan bersenang-senang semata, bukan untuk memperhatikan dan mengamati bumi Allah yang luas dan membagi hasil pengamatannya kepada sesama manusia.
Pada masa sekarang ini, walaupun teknologi informasi sudah begitu canggih, kisah perjalanan seseorang ke suatu tempat boleh jadi masih memberikan banyak keterangan yang menarik bagi para pembacanya. Ini menjadi lebih berkesan lagi pada masa-masa yang lalu, ketika pergi melancong masih sulit untuk dilakukan dan penyebaran informasi masih sangat terbatas. Tulisan ini akan mengangkat kisah-kisah perjalanan para pelancong muslim pada masa lalu serta sumbangan mereka terhadap pengetahuan.
Ian Richard Netton dalam pendahuluan bukunya, Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers, menyebutkan bahwa setidaknya ada empat faktor utama yang mendorong dilakukannya perjalanan oleh kaum muslimin. Pertama, rasa haus dan cinta terhadap pengetahuan, sebagaimana yang dianjurkan oleh Al-Quran dan al-Hadits. Kedua, dorongan untuk menunaikan ibadah Haji, meskipun jalan yang dilalui sangat jauh dan berbahaya. Ketiga, faktor komunikasi dan perdagangan, yaitu dorongan untuk menjalin komunikasi dan perdagangan di antara berbagai wilayah yang ada. Keempat, dan ini pada tingkat pemerintahan, dorongan untuk meluaskan pengaruh dan kekuasaan.
Pada masa sekarang ini, walaupun teknologi informasi sudah begitu canggih, kisah perjalanan seseorang ke suatu tempat boleh jadi masih memberikan banyak keterangan yang menarik bagi para pembacanya. Ini menjadi lebih berkesan lagi pada masa-masa yang lalu, ketika pergi melancong masih sulit untuk dilakukan dan penyebaran informasi masih sangat terbatas. Tulisan ini akan mengangkat kisah-kisah perjalanan para pelancong muslim pada masa lalu serta sumbangan mereka terhadap pengetahuan.
Ian Richard Netton dalam pendahuluan bukunya, Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers, menyebutkan bahwa setidaknya ada empat faktor utama yang mendorong dilakukannya perjalanan oleh kaum muslimin. Pertama, rasa haus dan cinta terhadap pengetahuan, sebagaimana yang dianjurkan oleh Al-Quran dan al-Hadits. Kedua, dorongan untuk menunaikan ibadah Haji, meskipun jalan yang dilalui sangat jauh dan berbahaya. Ketiga, faktor komunikasi dan perdagangan, yaitu dorongan untuk menjalin komunikasi dan perdagangan di antara berbagai wilayah yang ada. Keempat, dan ini pada tingkat pemerintahan, dorongan untuk meluaskan pengaruh dan kekuasaan.
Maqbul Ahmad menambahkan beberapa alasan lainnya: upaya penyebaran dakwah, pengiriman utusan atau duta, pengiriman ekspedisi, dan juga profesi sebagai pelaut.
Untuk halnya pengiriman duta, kita dapati contohnya antara lain pada kisah perjalanan Ahmad ibn Fadhlan yang dirikim oleh Khalifah al-Muqtadir ke kerajaan Bulgars di daerah Volga (kini berada di wilayah Rusia) pada tahun 921 M sebagai respon atas permintaan bantuan mereka, dan juga untuk mendakwahkan Islam. Ibn Fadhlan memberikan laporan yang sangat menarik tentang keadaan wilayah yang berada di Utara kekhalifahan Islam itu berikut ciri-ciri masyarakatnya.
Ia memberikan deskripsi tentang orang-orang yang ia sebut sebagai bangsa Rusiyyah, yang hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan para akademisi, apakah yang ia maksudkan adalah bangsa Rusia/Slavia, bangsa Viking, atau bangsa lainnya. Tentang orang-orang Rusiyyah ini ia mengatakan bahwa ia belum pernah melihat keadaan fisik yang lebih sempurna dari mereka. Mereka digambarkan seperti pohon-pohon palem, bertubuh sedang dan kemerah-merahan. Tapi Ibn Fadhlan juga menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang paling jorok. Mereka tidak membersihkan diri sehabis buang air, tidak mandi setelah melakukan hubungan seksual (mereka juga tidak malu melakukan hubungan seksual di depan orang lain), bahkan mereka tidak mencuci tangan setelah makan.
Penjelasan Ibn Fadhlan bukan hanya menarik bagi orang-orang yang membacanya pada masa itu, tetapi juga para peneliti dan pembaca yang hidup di zaman sekarang ini. Bahkan Michael Crichton, seorang novelis Barat modern terinspirasi oleh kisah Ibn Fadhlan ini dalam menuliskan novelnya, Eaters of the Dead, yang kemudian difilmkan menjadi The 13th Warrior, dengan menjadikan Ibn Fadhlan sebagai tokoh utama ceritanya.
Contoh ekspedisi lainnya adalah misi Sallam yang diminta oleh Khalifah al-Wathiq untuk mengeksplorasi wilayah di Timur Turkistan pada tahun 843 M. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyelidiki keberadaan tembok Ya’juj dan Ma’juj, yang kelihatannya pada masa itu diasosiasikan oleh orang-orang Arab dan kaum Muslimin dengan Tembok Cina. Perjalanannya menghabiskan lebih dari 28 bulan dan menyebabkan kematian serta kehilangan banyak anggota ekspedisi. Sallam melaporkan bahwa mereka berhasil mencapai tembok tersebut, menjelaskan ukuran tembok tersebut, dan mengambil beberapa spesimen logam yang digunakan untuk membangun tembok itu. Apakah Sallam dan rombongannya benar-benar mencapai tembok Ya’juj dan Ma’juj, atau hanya mencapai sesuatu yang dianggap oleh mereka sebagai tembok Ya’juj dan Ma’juj? Kita tidak mengetahuinya secara pasti.
Tulisan Sallam sendiri, yang menceritakan kisah perjalanan tersebut, sekarang sudah tidak ada lagi. Kita hanya mengetahui sebagian isi bukunya itu dari beberapa ahli Geografi Muslim yang mengutipnya, seperti Ibn Khurdadhbih dan al-Muqaddasi. Kendati demikian, Ibrahim Showket dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ”pelayaran Sallam penting karena itu merupakan pengalaman Arab yang pertama atas suatu wilayah dalam rangka pencarian pengetahuan geografis. Sallam melewati Armenia dan Georgia dalam perjalanannya ke Tembok Cina, dan melintasi Kaukasus, berhenti pada Khuzar di wilayah Volga. Ia kemudian mengeksplorasi banyak bagian dari Pegunungan Ural dan Altais. Dengan melakukan itu, Sallam menambahkan bagi pengetahuan Arab tentang wilayah-wilayah di luar Kekhalifahan Arab.”
Orang-orang yang melakukan perjalanan dalam rangka mencari pengetahuan juga sangat banyak jumlahnya dan tak mungkin diceritakan seluruhnya di sini. Kita mengetahui para ulama dan para ahli hadits yang pergi ke berbagai negeri hanya untuk belajar pada ulama lainnya atau untuk mendapatkan sebuah riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Banyak ahli geografi dan ahli Sejarah muslim juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengumpulkan data dan informasi secara langsung. Sebagian ilmuwan ini bahkan melakukan perjalanan yang sangat panjang demi mendapatkan pengetahuan yang diperlukannya, walaupun mungkin mereka tidak menceritakan secara detail kisah perjalanannya.
Al-Muqaddasi misalnya, ia merupakan salah satu ahli Geografi Muslim yang paling penting, dan karyanya, Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim, dinilai sebagai salah satu karya akademik terbaik di bidangnya. Ia lahir di Baitul Maqdis (Jerusalem) pada tahun 945 M dan meninggal dunia sekitar tahun 1000 M. Sebelum menyusun karyanya tersebut, al-Muqaddasi melakukan perjalanan ke berbagai wilayah Islam yang keseluruhannya menghabiskan waktu 20 tahun. Sebagaimana kebanyakan ilmuwan muslim yang melakukan perjalanan jauh, al-Muqaddasi mengawali misinya dengan mengunjungi al-Haramain dan menunaikan ibadah haji di sana. Melakukan perjalanan selama 20 tahun tentunya tidak bisa disebut sebagai perjalanan yang biasa, melainkan sebuah petualangan. Ia sendiri menyatakan bahwa ”tidak satu pun hal yang menimpa para pelancong yang saya tidak mengalaminya, kecuali meminta-minta dan melakukan dosa besar.”
Selama perjalanannya itu ia menekuni berbagai bidang pekerjaan. Ia menjadi tentara dan tukang jilid buku; ia menjadi penasihat para pangeran, tapi pada kesempatan yang lain hidup telanjang dan miskin, mengandalkan kebaikan orang lain. Sayangnya, ia tidak menuliskan kisah-kisah perjalanannya dalam sebuah karya khusus. Ia hanya menulis kitab Geografi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Tapi dari sini kita bisa membayangkan bahwa banyak ilmuwan lain yang mungkin juga melewati proses dan perjalanan seperti yang dilewati oleh al-Muqaddasi, walaupun mereka tidak menuliskan kisah-kisah mereka itu secara khusus.
Tentunya tidak semua penulis melewatkan kesempatan untuk menuliskan kisah perjalanan mereka dalam sebuah buku. Naser-e Khosraw misalnya, dari tempat tinggalnya di Timur Laut Khurasan, ia melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah Iran, Iraq, Suriah, Mesir, dan juga Makkah. Ia adalah seorang Persia, penganut Syi’ah Ismailiyyah, yang memulai perjalanannya kira-kira setengah abad sebelum terjadinya “Perang Salib”. Tapi terlepas dari keyakinannya itu, banyak informasi berharga yang bisa didapat dari bukunya, Safarnama. Ia memberikan deskripsi beberapa kota yang dilaluinya serta bangunan-bangunan penting yang terdapat di dalamnya, termasuk kota Jerusalem dan Makkah.
Saat berada di Palestina, ia mengunjungi makam nabi-nabi. Ia juga menyebutkan bahwa makam Abu Hurairah terletak di Selatan kota Tiberias, ”tapi tak seorang pun bisa pergi ke sana karena orang-orang di sana menganut Shi’ah dan setiap kali ada yang pergi ke sana, anak-anak di situ akan membuat kegaduhan, menyerang, mengusik, dan melemparkan bebatuan.” Karena alasan itulah ia tidak bisa mengunjungi tempat tersebut.
Satu abad lebih setelahnya, Abu’l Husayn Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Ibn Jubayr, melakukan perjalanan haji dari tempat asalnya di Valencia, Andalusia. Ibn Jubayr lahir pada tahun 1145 M dan melakukan perjalanannya selama dua tahun, antara tahun 1183 M dan 1185 M, hanya beberapa tahun sebelum kemenangan Salahuddin al-Ayyubi dalam Pertempuran Hattin tahun 1187 M, serta penaklukkan Jerusalem beberapa waktu setelahnya. Ia mengamati tempat-tempat yang dilaluinya, dan lebih khusus lagi kota Makkah dan Madinah, kemudian menuliskannya dalam sebuah risalah perjalanan yang kemudian dikenal sebagai kitab Rihla.
Istilah rihla sendiri dalam bahasa Arab berarti mengenakan pelana pada unta atau bermakna juga suatu perjalanan. Orang yang terampil mengenakan pelana pada unta atau seorang yang banyak melakukan perjalanan jauh disebut sebagai rahhal. Kata rihla juga terdapat di dalam al-Qur’an, Surat Quraisy (surat ke 106, ayat 2), yang menggambarkan kebiasaan orang-orang Quraisy pra-Islam dalam melakukan perjalanan pada musim dingin dan musim panas untuk keperluan dagang.
Sejak era Ibn Jubayr, Rihla menjadi genre dalam penulisan buku-buku perjalanan. Walaupun durasi perjalanan Ibn Jubayr relatif singkat, hanya dua tahun, karyanya dinilai oleh beberapa akademisi sebagai ”yang pertama dan salah satu karya terbaik di bidangnya.” dan ”menjadi model bagi banyak pelancong lainnya.” Beberapa bagian dari bukunya bahkan diadopsi oleh Ibn Battuta dalam penulisan Rihla-nya.
Ada beberapa karya penting yang terkait dengan kisah perjalanan, antara lain ditulis oleh al-Mazini (w.1169), Ibn Mujawir (ditulis sekitar tahun 1230), al-Nabati (w. 1239), al-’Abdari (w. 1289), al-Tayyibi (w. 1299), al-Tidjani (w. 1308), dan lainnya. Penulisan kisah-kisah perjalanan mencapai puncaknya, tentu saja, pada karya Ibn Battuta (w. 1377).13 Ibn Battuta dapat dikatakan telah mengunjungi semua wilayah muslim dan juga wilayah-wilayah di luar kekhalifahan Islam, seperti Srilanka, Cina, dan selatan Rusia. Ia menempuh jarak tidak kurang dari 75.000 mil, dan total waktu perjalanannya adalah sekitar 30 tahun, suatu angka yang sulit ditandingi oleh siapa pun, terlebih di zaman yang masih terbatas dalam hal teknologi transportasi.
Rihla, atau karya-karya terkait perjalanan memang biasanya lebih dikategorikan sebagai karya sastra ketimbang karya geografi atau sejarah. Namun demikian, karya-karya ini mengandung informasi geografi, sejarah, dan juga antropologi, yang cukup kaya bagi para akademisi. Itulah sebabnya karya-karya ini masih menjadi kajian para peneliti hingga ke hari ini.
Di samping itu, kita juga mendapati pentingnya peranan ibadah haji dalam mendorong kaum muslimin untuk melakukan perjalanan. Perjalanan ini memberikan kekuatan mental bagi mereka, kesediaan untuk berkorban, dan meluaskan pengetahuan mereka tentang keadaan berbagai negeri serta masyarakatnya. Sebagian peziarah menjadikan haji sebagai momen awal untuk melakukan perjalanan dan upaya eksplorasi lebih jauh ke berbagai wilayah lainnya. Barangkali karena pengaruh haji yang penting inilah para akademisi, termasuk kaum orientalis Barat, menaruh perhatian cukup serius dan melakukan penelitian-penelitian terhadapnya.
Akhirnya, bagi pembaca Muslim yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat, sebaiknya jangan hanya melakukannya untuk hiburan dan pengisi waktu luang. Tapi mulailah menjadi pengamat yang baik dan kemudian tuangkanlah hal tersebut dalam sebuah tulisan. Tulisan itu boleh jadi terlihat biasa saja pada saat ia ditulis, tapi siapa tahu ia akan menjadi sesuatu yang sangat berarti di kemudian hari. Wallahu a’lam.
Untuk halnya pengiriman duta, kita dapati contohnya antara lain pada kisah perjalanan Ahmad ibn Fadhlan yang dirikim oleh Khalifah al-Muqtadir ke kerajaan Bulgars di daerah Volga (kini berada di wilayah Rusia) pada tahun 921 M sebagai respon atas permintaan bantuan mereka, dan juga untuk mendakwahkan Islam. Ibn Fadhlan memberikan laporan yang sangat menarik tentang keadaan wilayah yang berada di Utara kekhalifahan Islam itu berikut ciri-ciri masyarakatnya.
Ia memberikan deskripsi tentang orang-orang yang ia sebut sebagai bangsa Rusiyyah, yang hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan para akademisi, apakah yang ia maksudkan adalah bangsa Rusia/Slavia, bangsa Viking, atau bangsa lainnya. Tentang orang-orang Rusiyyah ini ia mengatakan bahwa ia belum pernah melihat keadaan fisik yang lebih sempurna dari mereka. Mereka digambarkan seperti pohon-pohon palem, bertubuh sedang dan kemerah-merahan. Tapi Ibn Fadhlan juga menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang paling jorok. Mereka tidak membersihkan diri sehabis buang air, tidak mandi setelah melakukan hubungan seksual (mereka juga tidak malu melakukan hubungan seksual di depan orang lain), bahkan mereka tidak mencuci tangan setelah makan.
Penjelasan Ibn Fadhlan bukan hanya menarik bagi orang-orang yang membacanya pada masa itu, tetapi juga para peneliti dan pembaca yang hidup di zaman sekarang ini. Bahkan Michael Crichton, seorang novelis Barat modern terinspirasi oleh kisah Ibn Fadhlan ini dalam menuliskan novelnya, Eaters of the Dead, yang kemudian difilmkan menjadi The 13th Warrior, dengan menjadikan Ibn Fadhlan sebagai tokoh utama ceritanya.
Contoh ekspedisi lainnya adalah misi Sallam yang diminta oleh Khalifah al-Wathiq untuk mengeksplorasi wilayah di Timur Turkistan pada tahun 843 M. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyelidiki keberadaan tembok Ya’juj dan Ma’juj, yang kelihatannya pada masa itu diasosiasikan oleh orang-orang Arab dan kaum Muslimin dengan Tembok Cina. Perjalanannya menghabiskan lebih dari 28 bulan dan menyebabkan kematian serta kehilangan banyak anggota ekspedisi. Sallam melaporkan bahwa mereka berhasil mencapai tembok tersebut, menjelaskan ukuran tembok tersebut, dan mengambil beberapa spesimen logam yang digunakan untuk membangun tembok itu. Apakah Sallam dan rombongannya benar-benar mencapai tembok Ya’juj dan Ma’juj, atau hanya mencapai sesuatu yang dianggap oleh mereka sebagai tembok Ya’juj dan Ma’juj? Kita tidak mengetahuinya secara pasti.
Tulisan Sallam sendiri, yang menceritakan kisah perjalanan tersebut, sekarang sudah tidak ada lagi. Kita hanya mengetahui sebagian isi bukunya itu dari beberapa ahli Geografi Muslim yang mengutipnya, seperti Ibn Khurdadhbih dan al-Muqaddasi. Kendati demikian, Ibrahim Showket dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ”pelayaran Sallam penting karena itu merupakan pengalaman Arab yang pertama atas suatu wilayah dalam rangka pencarian pengetahuan geografis. Sallam melewati Armenia dan Georgia dalam perjalanannya ke Tembok Cina, dan melintasi Kaukasus, berhenti pada Khuzar di wilayah Volga. Ia kemudian mengeksplorasi banyak bagian dari Pegunungan Ural dan Altais. Dengan melakukan itu, Sallam menambahkan bagi pengetahuan Arab tentang wilayah-wilayah di luar Kekhalifahan Arab.”
Orang-orang yang melakukan perjalanan dalam rangka mencari pengetahuan juga sangat banyak jumlahnya dan tak mungkin diceritakan seluruhnya di sini. Kita mengetahui para ulama dan para ahli hadits yang pergi ke berbagai negeri hanya untuk belajar pada ulama lainnya atau untuk mendapatkan sebuah riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Banyak ahli geografi dan ahli Sejarah muslim juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengumpulkan data dan informasi secara langsung. Sebagian ilmuwan ini bahkan melakukan perjalanan yang sangat panjang demi mendapatkan pengetahuan yang diperlukannya, walaupun mungkin mereka tidak menceritakan secara detail kisah perjalanannya.
Al-Muqaddasi misalnya, ia merupakan salah satu ahli Geografi Muslim yang paling penting, dan karyanya, Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim, dinilai sebagai salah satu karya akademik terbaik di bidangnya. Ia lahir di Baitul Maqdis (Jerusalem) pada tahun 945 M dan meninggal dunia sekitar tahun 1000 M. Sebelum menyusun karyanya tersebut, al-Muqaddasi melakukan perjalanan ke berbagai wilayah Islam yang keseluruhannya menghabiskan waktu 20 tahun. Sebagaimana kebanyakan ilmuwan muslim yang melakukan perjalanan jauh, al-Muqaddasi mengawali misinya dengan mengunjungi al-Haramain dan menunaikan ibadah haji di sana. Melakukan perjalanan selama 20 tahun tentunya tidak bisa disebut sebagai perjalanan yang biasa, melainkan sebuah petualangan. Ia sendiri menyatakan bahwa ”tidak satu pun hal yang menimpa para pelancong yang saya tidak mengalaminya, kecuali meminta-minta dan melakukan dosa besar.”
Selama perjalanannya itu ia menekuni berbagai bidang pekerjaan. Ia menjadi tentara dan tukang jilid buku; ia menjadi penasihat para pangeran, tapi pada kesempatan yang lain hidup telanjang dan miskin, mengandalkan kebaikan orang lain. Sayangnya, ia tidak menuliskan kisah-kisah perjalanannya dalam sebuah karya khusus. Ia hanya menulis kitab Geografi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Tapi dari sini kita bisa membayangkan bahwa banyak ilmuwan lain yang mungkin juga melewati proses dan perjalanan seperti yang dilewati oleh al-Muqaddasi, walaupun mereka tidak menuliskan kisah-kisah mereka itu secara khusus.
Tentunya tidak semua penulis melewatkan kesempatan untuk menuliskan kisah perjalanan mereka dalam sebuah buku. Naser-e Khosraw misalnya, dari tempat tinggalnya di Timur Laut Khurasan, ia melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah Iran, Iraq, Suriah, Mesir, dan juga Makkah. Ia adalah seorang Persia, penganut Syi’ah Ismailiyyah, yang memulai perjalanannya kira-kira setengah abad sebelum terjadinya “Perang Salib”. Tapi terlepas dari keyakinannya itu, banyak informasi berharga yang bisa didapat dari bukunya, Safarnama. Ia memberikan deskripsi beberapa kota yang dilaluinya serta bangunan-bangunan penting yang terdapat di dalamnya, termasuk kota Jerusalem dan Makkah.
Saat berada di Palestina, ia mengunjungi makam nabi-nabi. Ia juga menyebutkan bahwa makam Abu Hurairah terletak di Selatan kota Tiberias, ”tapi tak seorang pun bisa pergi ke sana karena orang-orang di sana menganut Shi’ah dan setiap kali ada yang pergi ke sana, anak-anak di situ akan membuat kegaduhan, menyerang, mengusik, dan melemparkan bebatuan.” Karena alasan itulah ia tidak bisa mengunjungi tempat tersebut.
Satu abad lebih setelahnya, Abu’l Husayn Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Ibn Jubayr, melakukan perjalanan haji dari tempat asalnya di Valencia, Andalusia. Ibn Jubayr lahir pada tahun 1145 M dan melakukan perjalanannya selama dua tahun, antara tahun 1183 M dan 1185 M, hanya beberapa tahun sebelum kemenangan Salahuddin al-Ayyubi dalam Pertempuran Hattin tahun 1187 M, serta penaklukkan Jerusalem beberapa waktu setelahnya. Ia mengamati tempat-tempat yang dilaluinya, dan lebih khusus lagi kota Makkah dan Madinah, kemudian menuliskannya dalam sebuah risalah perjalanan yang kemudian dikenal sebagai kitab Rihla.
Istilah rihla sendiri dalam bahasa Arab berarti mengenakan pelana pada unta atau bermakna juga suatu perjalanan. Orang yang terampil mengenakan pelana pada unta atau seorang yang banyak melakukan perjalanan jauh disebut sebagai rahhal. Kata rihla juga terdapat di dalam al-Qur’an, Surat Quraisy (surat ke 106, ayat 2), yang menggambarkan kebiasaan orang-orang Quraisy pra-Islam dalam melakukan perjalanan pada musim dingin dan musim panas untuk keperluan dagang.
Sejak era Ibn Jubayr, Rihla menjadi genre dalam penulisan buku-buku perjalanan. Walaupun durasi perjalanan Ibn Jubayr relatif singkat, hanya dua tahun, karyanya dinilai oleh beberapa akademisi sebagai ”yang pertama dan salah satu karya terbaik di bidangnya.” dan ”menjadi model bagi banyak pelancong lainnya.” Beberapa bagian dari bukunya bahkan diadopsi oleh Ibn Battuta dalam penulisan Rihla-nya.
Ada beberapa karya penting yang terkait dengan kisah perjalanan, antara lain ditulis oleh al-Mazini (w.1169), Ibn Mujawir (ditulis sekitar tahun 1230), al-Nabati (w. 1239), al-’Abdari (w. 1289), al-Tayyibi (w. 1299), al-Tidjani (w. 1308), dan lainnya. Penulisan kisah-kisah perjalanan mencapai puncaknya, tentu saja, pada karya Ibn Battuta (w. 1377).13 Ibn Battuta dapat dikatakan telah mengunjungi semua wilayah muslim dan juga wilayah-wilayah di luar kekhalifahan Islam, seperti Srilanka, Cina, dan selatan Rusia. Ia menempuh jarak tidak kurang dari 75.000 mil, dan total waktu perjalanannya adalah sekitar 30 tahun, suatu angka yang sulit ditandingi oleh siapa pun, terlebih di zaman yang masih terbatas dalam hal teknologi transportasi.
Rihla, atau karya-karya terkait perjalanan memang biasanya lebih dikategorikan sebagai karya sastra ketimbang karya geografi atau sejarah. Namun demikian, karya-karya ini mengandung informasi geografi, sejarah, dan juga antropologi, yang cukup kaya bagi para akademisi. Itulah sebabnya karya-karya ini masih menjadi kajian para peneliti hingga ke hari ini.
Di samping itu, kita juga mendapati pentingnya peranan ibadah haji dalam mendorong kaum muslimin untuk melakukan perjalanan. Perjalanan ini memberikan kekuatan mental bagi mereka, kesediaan untuk berkorban, dan meluaskan pengetahuan mereka tentang keadaan berbagai negeri serta masyarakatnya. Sebagian peziarah menjadikan haji sebagai momen awal untuk melakukan perjalanan dan upaya eksplorasi lebih jauh ke berbagai wilayah lainnya. Barangkali karena pengaruh haji yang penting inilah para akademisi, termasuk kaum orientalis Barat, menaruh perhatian cukup serius dan melakukan penelitian-penelitian terhadapnya.
Akhirnya, bagi pembaca Muslim yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat, sebaiknya jangan hanya melakukannya untuk hiburan dan pengisi waktu luang. Tapi mulailah menjadi pengamat yang baik dan kemudian tuangkanlah hal tersebut dalam sebuah tulisan. Tulisan itu boleh jadi terlihat biasa saja pada saat ia ditulis, tapi siapa tahu ia akan menjadi sesuatu yang sangat berarti di kemudian hari. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar